Abdurrahman Wahid yang selalu membuat orang kaget, tidak habis pikir dan bingung atas segala tindakan dan pernyataan-pernyataan yang menggelitik emosi. Gus dur tetaplah seperti itu, seseorang yang mau tidak mau harus kita akui kecerdasannya dalam mengerakkan opini massa. Mungkin hari ini kita adalah bagian dari apa yang dia cita-citakan, ketika ia telah tiada tapi pemikirannya masih hidup mewarnai sekian banyak perbincangan kita tentang kemuliaan Islam dan hakikat kebenaran dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Islam.
A. Pendahuluan
Membicarakan prisma pemikiran Abdurrahman Wahid seolah-olah membuat kita seperti sedang mencari sudut terbaik dari sebuah lukisan kubisme: terlalu banyak pilihan, membingungkan. Menelaah pemikiran seseorang secara objektif memang bukan hal yang mudah karena dalam benak penelaah akan ada suatu polarisasi yang terbentuk oleh ideologi dan keilmuannya yang mengarahkan pada sikap pro atau kontra, sangat sulit memposisikan diri di antara keduanya.
Demikian pula ketika Jamaluddin Mirri menulis tentang Abdurrahman Wahid, mungkin dia sedang membayangkan bapak pluralisme tersebut sebagai seorang syaikh yang berdiri gagah dengan atribut kewibawaan yang warna-warni sehingga membentuk kesan yang sangat positif terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid yang oleh Jamaluddin ditampilakan sebagai orang yang modernis, pluralis dan demokratis sebenarnya—sebagaimana diketahui—segala sikap dan pemikirannya tidaklah sesederhana yang ia tuliskan.
B. Kontoversi di Balik Pemikiran Pembaruan Abdurrahman Wahid
Secara umum gagasan Abdurrahman Wahid adalah mengenai Islam kosmopolitan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual, dan etika sosial guna merespon hak-hak dasar universal, menghormati agama, ideologi dan kultur lain serta menyerap sisi-sisi positif yang ditawarkan iptek . Pijakan inilah yang kemudian dirumusknan menjadi beberapa yang lebih jelas seperti seruan untuk membela hak-hak kaum minoritas dan persamaan hak keagamaan bagi agama apapun.
Dengan kata lain cara pandang kosmopolitan ini menekankan pada sikap akomodatif, moderat, pluralis dan anti-sektarian demi menumbuhkan kerja sama yang baik antara kaum muslim dengan golongan non-muslim . Namun sekali lagi, aktualisasi pemikiran yang cenderung liberal tersebut menempatkan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang dianggap telah menerjemahkan Islam secara membingungkan, kontroversial dan disebut tidak konsisten.
Sewaktu Abdurrahman Wahid menunjukkan pembelaannya terhadap kaum monoritas kadang ia tidak menyadari kalau tindakannya telah menyinggung golongan mayoritas (baca: Islam). Abdurrahman Wahid dalam sambutan di Musyawarah Luar Biasa 2008 DPW PKB Jawa Timur dengan sinis memberikan komentarnya terhadap fatwa MUI, "Model sesat-sesatan Majelis Ulama Indonesia. Opo iku? Gendeng !" Demikianlah Abdurrahman Wahid berkali-kali menggaungkan persamaan derajat dan penegakan HAM namun ironisnya tindakannya terkadang agak berlebihan, seperti halnya pelecehan terhadap fatwa MUI tersebut bisa saja dikatakan membela aliran sesat tapi menjatuhkan kredibilitas MUI dan ulama’ di dalamnya.
Bagi Abdurrahman Wahid universalisme Islam adalah nilai-nilai yang pasif dan stagnan jika tidak diterjemahkan dalam sikap hidup kosmopolit. Untuk merealisasikan cita-cita besar Abdurrahman Wahid tentang perwujudan Islam kosmopolit yang sesuai dambaannya setidaknya dapat dilihat dari tiga hal yang seringkali melekat dengan dirinya yaitu: humanitarianisme, demokrasi dan pluralisme. Pada dasarnya pemikiran Abdurrahman Wahid memang tidak terbatas pada tiga hal tersebut tapi setidaknya hal ini bisa sedikit memberi gambaran.
1. Humanitarianisme
Tanpa lelah Abdurrahman Wahid berusaha menyiarkan gagasan humanitarianisme dalam pergulatan menyeimbangkan pemikiran dan prilaku politiknya. Dalam asumsinya humanitarianisme Islam berarti pengajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial, yang mendorong muslim seharusnya tidak takut dengan pluralitas, berani bersikap non-sektarian dengan berpijak pada Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariah.
Berdasar pada pijakan tersebut maka tidak aneh jika Abdurrahman Wahid gencar ‘menyerang’ ulama atau organisasi Islam yang tidak sependapat dengannya, yang ia klaim sebagai orang-orang yang hanya mempelajari Islam sebagai simbol bukan esensi. Sebuah bentuk nyata ialah perseteruannya dengan ICMI yang ia sebut hanya mementingkan formalisasi Islam serta perbedaan pandangannya dengan Depag, MUI, partai-partai Islam yang dikatakan bersikap intoleren dan eksklusif.
Abdurrahman Wahid dalam hal ini nampaknya ingin menempatkan Islam sebagai jalan raya yang bisa dilewati semua orang untuk menuju tempatnya masing-masing, artinya ia ingin menghindarkan benturan peradaban—meminjam istilah dari Huntington, clash civilization. Makna yang lebih luas dari agenda humanitarianisme ini adalah menghilangkan adanya phobia terhadap Islam versi Barat yang beberapa dekade ini menguat ke permukaan.
Menariknya, dari perjuangan Abdurrahman Wahid untuk menunjukkan perlindungannya terhadap hak-hak berekspresi bagi semua manusia, ia pernah membuat jutaan muslim tersinggung atas penghinaannya terhadap Qur’an yakni ketika menolak RUU anti pornografi. Ia mengatakan bahwa Qur’an adalah kitab paling porno—ironisnya ia mengatakan hal tersebut sambil terkekeh!—hanya karena adanya ayat yang menyebutkan kata ‘menyusui’ yang artinya membentuk gambaran tentang mengeluarkan—maaf—puting, anehnya ia pernah memberikan pernyataan yang sangat kontras dengan hal itu dalam situs resmi JIL dengan mengatakan Tari perut mesir yang perut penarinya terbuka lebar bahkan kelihatan pusarnya bukanlah sesuatu yang cabul serta novel pelacuran tulisan Naquib Mahfouz yang tokoh sentralnya adalah seorang pelacur, oleh Abdurrahman Wahid diangkat tinggi-tinggi sebagai produk seorang sastrawan brilian.
Ironisnya dari sekian banyak kontroversi humanitarianisme Abdurrahman Wahid tidak ada yang ia klarifikasi lebih lanjut ketika mulai menimbulkan masalah di kalangan publik. Setelah tindakannnya mendapat tanggapan dari pihak lain, Abdurrahman Wahid justru sering menutup diri dari perbincangan lebih lanjut . Kendati demikian pembelaan Abdurrahman Wahid terhadap hak-hak agama lain memang mampu mengukuhkan posisi Abdurrahman Wahid yang humanis-pluralis, hingga kepergiannya ditangisi sekian banyak tokoh lintas agama.
2. Demokrasi
Dalam benak Abdurrahman Wahid demokrasi adalah persamaan hak, menghargai pluralisme, tegaknya supremasi hukum, terciptanya keadilan serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Ia juga berpendapat bahwa tindakannya yang kontroversial adalah bagian dari proses demokrasi, demokrasi adalah bagian dari demokrasi sehingga diharapkan adanya pertukaran pendangan yang jujur. Kendati demikian sekali lagi Abdurrahman Wahid yang terkesan tidak mau mengkonfirmasi pernyataan-pernyataannya yang nyeleneh memang tidak menunjukkan pendidikan demokrasi yang ia maksud.
Ketimpangan antara gagasan dan prilaku empiris Abdurrahman Wahid dapat dengan mudah ditemui. Di hadapan santri sikap otoriternya begitu menonjol, begitu juga di hadapan para nahdhiyin dan anggota Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun kita juga tidak bisa menutup mata jika konsep demokrasi yang ia usung juga telah memberikan kontribusi dalam pembaruan pemikiran Islam Indonesia tentang demokrasi.
3. Pluralisme
Secara sederhana, pluralisme berarti pandangan yang mengakui adanya hal-hal yang bersifat bermacam-macan (heterogen) di suatu komunitas masyarakat tertentu. Isu pluralisme menurut Abdurrahman Wahid memang semertinya digalakkan kerena kondisi Indonesia yang sedemikian beragam bahkan seringkali berbenturan satu sama lain, kedaan yang demikian mustahil disatukan dengan satu kata di bawah satu bendera Islam, karena itulah Islamisasi yang disertai pembentukan istilah-istilah seperti anti-pemurtadan atau anti-kristenisasi adalah suatu tindakan yang keliru, yang hanya mau menegakkan Islam sebagai simbol dan tidak menunjukkan sifat Islam yang toleran dan uneversalis. Pandangan tentang hal ini akan semakin keruh ketika ia menganggap semua agama adalah benar, seperti apa yang kemudian menjadi salah satu landansan gerakan Islam Liberal yang mengagungkan figurnya.
Dari semua pemikirannya mungkin bagian inilah yang sering menimbulkan masalah terlebih setelah tercampur dengan ide liberalisme. Karena giatnya kampanye pulralisme yang ia serukan Abdurrahman wahid akhirnya dijuluki Bapak Pluralisme padahal Pluralisme adalah satu paham yang dinyatakan sesat oleh MUI karena menyatakan semua agama itu benar. Silahkan lihat fatwa MUI di bawah ini:
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII VII MUI 2005.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA TENTANG PLURALISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
Pertama: Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4. Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan social.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 22 Jumadil Akhir 1426 H.
29 Juli 2005 M
Musyawarah Nasional VII
Majelis Ulama Indonesi A
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Sekretaris,
K.H. Ma’ruf Amin Hasanudin
Imbas yang paling kentara dari pemikiran Abdurrahman wahid adalah bangkitnya hal-hal yang berbau bid’ah, khurafat, bahkan kemusrikan dan semacamnya, semuanya terlihat jelas ketika ia menjadi Presiden Republik Indonesia. Momentum kekuasaannya saat itu dimanfaatkan dengan baik untuk memperjuangkan agenda pembaruannya karena saat itu mendapat kekuasaan untuk menyebarkan pemikirannya melalui hak-haknya untuk mengeluarkan kebijkan. Pendapat ini tentu tidak mutlak benar karena bagaimanapun sekian banyak pihak telah merasa hak-hak minoritasnya terlingdungi oleh Gus Dur.
C. Penutup
Untuk mengenang kembali guyonan-guyonannya biarlah tulisan ini diakhiri dengan sebuah cerita lucu tentang dirinya. Ternyata nama Gus Dur tidak dikenal dan sama sekali tidak dicintai masyarakat NTT, mereka bahkan baru mengenal nama Gus Dur setelah setelah ia menjadi presiden. Nama Gus Gur tidak hanya asing tapi sangat aneh bagi mereka (masyarakat NTT, Maggarai). Gus artinya usir sedangkan Dur artinya tolak. Gus Dur berarti diusir dan ditolak. Karena inilah meskipun Gus Dur juga berusaha menyejahterakan warga NTT, mereka tidak keberatan ada istilah Gus Dur digusur, karena mereka hanya mencintai Abdurrahman Wahid bukannya Gus Dur! .
Ah, Gus Dur! Hari ini Islam masih disudutkan, difitnah dan terbelakang tapi penulis justru membicarakan aib orang yang sudah tiada!
DAFTAR PUSTAKAAz-Zastraw. 1999. Gus Dur Siapa Sih Sampeyan. Jakarta: ErlanggaHartono Hamad Jaiz. 2002. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. cet: 2. Jakarta: Pustaka Al-KautsarJamaluddin Miri. 2005. Implikasi Pemikiran Pembaharuan Gus Dur di Tubuh NU, Jurnal Paremedia, Vol. 6 No. 4. Surabaya: LP IAIN Sunan AmpelJohn. E. Elposito dan John O. Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer Terj. Sugeng.Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari. 1999. Gus Dur: Di Antara Keberhasilan dan Kenestapaan. Jakarta : Raja Grafindo PersadaMuslim Abdurrahman. 1997 Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka FirdausSamsul Bakri dan Mudhofir. 2004. Jombang Kairo, Jombang Chicago, Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai
0 comments:
Post a Comment