Ilmu Tarikh Ar-Ruwah dan Jarh wa Ta’dil


Pembahasan tentang tarikh al-ruwah dan jarh wa ta’dil yang merupakan ilmu tentang para perawi dari sisi historis dan segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Ilmu ini sangat urgen bagi terlaksananya bagi pembendungan terhadap mereka yang membuat hadiṡ palsu.
Dulu, dalam upaya memelihara keoutentikan hadiṡ sebagai sumber ke dua dari ajaran Islam, maka para ulama terus berusaha dalam menghimpun hadiṡ-hadiṡ Nabi SAW. dengan cara mengritisi hadiṡ dari banyak aspek dengan berbagai kriteria dan kaidah-kaidah. Kini, pada masa Islam modern tatangan muslim adalah untuk menjaga hadiṡ-hadiṡ yang telah terkodifikasi agar tetap aktual dan hidup di tengah-tengah umat. Dimulai dari membaca, memahami dan mengamalakannya secara baik.

Pendahuluan
Kedudukan ḥadiṡ (sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan ḥadiṡ ṡahih sudah tidak diperdebatkan lagi keabsahannya, dan demikianlah yang semestinya. Namun berbeda dengan Alquran, keotentikan masih hadiṡ seringkali dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadiṡ, bahkan ada yang menolaknya. Sekalipun telah sekian lama melengkapi Alquran, hadiṡ memang masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Suatu hal yang menyebabkan hal tersebut adalah tidak ada ‘jaminan’ keterjagaan hadiṡ sebagaimana Alquran, dan jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah saw. dengan masa pembukuan/kodifikasi ḥadiṡ. Kodifikasi ḥadiṡ terjadi sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat meski penulisannya sudah dimulai sejak awal Islam tumbuh. Dalam rentang waktu yang panjang itu ada kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta timbulnya berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat ḥadiṡ (perawi) menyalahi apa yang sebenarnya barasal dari Nabi saw. Berpijak dari hal tersebut maka dipandang perlu adanya satu ilmu yang khusus membahas mengenai otentitas ḥadiṡ.
Untuk meneliti keṡahihan suatu ḥadiṡ dalam ilmu ḥadiṡ dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu ḥadiṡ riwayat, yang objek kajiannya ialah bagaimana bagaimana cara menerima, menyampaikan, memindahkan atau menuliskan Hadits. Ilmu ini tidak membicarakan sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, ḍabiṭ atau fasik yang dapat berpengaruh terhadap ṡahih tidaknya suatu ḥadiṡ. Perkara yang menyangkut keadaan perawi semacam itu merupakan objek kajian dari cabang ilmu ḥadiṡ yang ke dua yaitu ilmu ḥadiṡ dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan keṡahihan suatu ḥadiṡ, maka ilmu ḥadiṡ dirayah secara khusus membahas keadaan perawi melalui ilmu rijal al-ḥadiṡ.
Adapun definisi ilmu rijal al-ḥadiṡ adalah ilmu yang mengkaji keadaan para perawi ḥadiṡ dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan ṡahabat, tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya.[1] Ash-Shidqdiqy memilah Ilmu ini menjadi tiga cabang fokus pembahasan yaitu, ilmu tarikh al-ruwah, ilmu ṭabaqat al-ruwah dan iIlmu al-jarh wa at-ta’dil. [2]
Para ulama sangat memperhatikan kualitas para periwayat ḥadiṡ dalam upaya membedakan antara ḥadiṡ yang dapat diterima dan yang ditolak. Yakni dengan memperhatikan keṡalihan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat ḥadiṡ pada masing-masing ṭabaqah. Proses seleksi kualitas periwayat dan berimplikasi langsung pada kualitas ḥadiṡ mutlak diperlukan untuk menjaga keabsahan dan kemurnian sumber hukum Islam tersebut.
Dari beberapa cabang kajian ilmu ḥadiṡ di atas, tentu tidak semua kalangan dapat memahami kajian secara mendalam, disebabkan karena rumitnya masalah ilmu ḥadiṡ ini hingga hanya kalangan pemerhati ḥadiṡ atau muḥaddiṡīn saja yang mampu mengkaji dengan mendalam dan komprehenshif. Untuk memahami sebagian dari ilmu ḥadiṡ, semisal ilmu rijal al-ḥadiṡ saja diperlukan satu usaha yang serius dalam proses yang panjang. Namun tidak menutup harapan, bahwa sebagai penerus estafet keilmuan para ulama—terlebih mahasiswa muslim, dan juga sebagai pengikut Muhammad saw., setiap muslim turut ambil bagian untuk mempelajari al-ḥadiṡ seluruhnya atau sebagiannya, sesuai batas kemampuan masing-masing. Misalnya, pemahaman tentang perawi mutlak diperlukan karena tanpa adanya mereka, maka suatu periwayatan menjadi tertolak atau setidaknya diragukan secara pasti sebagai suatu riwayat yang datang dari Nabi Muhammad Saw. Atas dasar itulah penulis akan mengurai sebagian dari ilmu ini. Akan tetapi makalah tidak akan membicarakan keseluruhan cabang ilmu rijal al-ḥadiṡ melainkan hanya meliputi tarikh ruwah dan jarh wa ta’dil.
Tarikh al-Ruwah
Para Ulama sangat mementingkan ilmu ini supaya mereka dapat mengetahui keadaan perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediaman, sejarah mereka belajar, sebagaimana mereka menanyakan tentang pribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemutashilannya dan kemunqathi’annya. Karena memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta.
Definisi Tarikh al-Ruwah
Secara bahasa yaitu dari kata تاريخ artinya sejarah, tanggal, waktu; dan الرواة bentuk jamak dari kata الراوي artinya tukang cerita, atau pembawa cerita[3]. Secara istilah Dr. Mahmud Tahhan menjelaskan ilmu ini sebagai pengertian tentang sejarah kelahiran perawi, pemerolehan riwayat dari para syaikh, pencarian ḥadiṡ ke berbagai kota dan wafatnya perawi.[4] Artinya, ilmu tarikh ar-ruwah merupakan ilmu untuk mengenal para perawi ḥadiṡ yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap ḥadiṡ melalui pendekatan ilmu sejarah. Ia secara khusus membahas perihal para perawi ḥadiṡ dengan penekanan pada aspek-aspek kronologis seperti tanggal kelahiran, nasab atau garis keturuan, guru sumber mengambil ḥadiṡ, jumlah ḥadiṡ yang diriwayatkan dan siapa saja murid-muridnya.
Ulama-ulama sebelum abad ke lima Hijriyah menamai ilmu ini dengan nama yang berbeda-beda. Sebagian mereka menamainya dengan ilmu tarikh, sebagian yang lain menamainya dengan Ilmu tarikh ar-ruwah, sedang sebagian yang lain menamainya dengan ilmu wafayatu ar-ruwah. Ulama-ulama angkatan sesuah abad ke lima Hijriyah menyebutnya dengan ilmu al-tawarikh wa al-wafayat.[5]
Terlepas dari nama-nama yang ada, ilmu ini mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran perawi, wafatnya, guru-gurunya sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya dari negeri-negeri yang berbeda, masa belajarnya sebelum ataupun sesudah mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan-persoalan ḥadiṡ.[6] Dengan demikian yang dimaksud dengan Ilmu tarikh al-ruwah ialah pengertian tentang sejarah kelahiran perawi, bagaimana mereka mendapat riwayat dari para syaikh, rihlah/pencarian hadiṡ ke berbagai kota hingga wafatnya perawi sehingga keabsahan hadiṡ dapat dipertanggungjawabkan. Melalui pelacakan perawi dalam ilmu ini, maka akan diketahui apakah periwayatan seorang perawi ṡah atau ditolak.
Urgensi Ilmu Tarikh al-Ruwah
Urgensi dikuasainya ilmu ini karena di dalamnya membahas tentang periwayat ḥadiṡ yang dapat menentukan status sanad ḥadiṡ. Jika perawi dalam sanad itu muttaṡil dan ṡiqah pada setiap tingkatannya maka periwayatannya sudah dapat diterima meskipun belum final (masih perlu diuji dengan cabang ilmu ḥadiṡ yang lainnya). Sebagai contoh urgensi ilmu ini dapat digambarkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Umar pernah menyebarkan edaran ke berbagai daerah agar orang–orang membakar sebagian tulisan ḥadiṡ karena setelah diteliti, sanadnya terputus sehingga tidak dapat pertimbangkan sebagai argumen yang ṡahih. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem sanad adalah bagian dari agama Islam, sebab seandainya tidak ada sanad maka setiap orang dapat mengatakan apa saja dengan menisbatkan kepada Nabi saw.
Dengan demikian melalui ilmu ini dapat mengetahui mana ḥadiṡ yang diterima, mana ḥadiṡ yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Dengan kesungguhan para ulama dalam menelaah/meneliti sejarah para perawi, terkumpullah referensi-referensi besar yang menerangkan sejarah para perawi ḥadiṡ. Misalnya, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 h), al-Isabah fi Tamyiz as-Ṡahabah dan Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta Tahdzib Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusub Bin Az-Zakki Al- Mizzi (w. 742 h).
Tujuan ilmu tarikh al-ruwah
Secara garis besar tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung atau terputus sanadnya.[7] Dalam artian ilmu ini bertujuan untuk mengetahui keadaan dan identitas para perawi ḥadiṡ mulai dari kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar ḥadiṡ dari gurunya, siapa yang meriwayatkan ḥadiṡ darinya dll. Ilmu ini penting untuk melacak keberadaan perawi ḥadiṡ sehingga jelas statusnya apakah ia termasuk perawi yang diterima periwayatnnya atau ditolak sebab latar belakang kehidupannya yang telah lalu. Dari data-data tersebut kemudian dapat diputuskan apakah rangkaian sanadnya bersambung atau tidak, ṡahih atau ḍa’if dst.
Objek Kajian dan Metode Ilmu Tarikh al-Ruwah
Objek pembahasan ilmu rijal al-ḥadiṡ adalah semua tokoh yang terlibat dalam persoalan ḥadiṡ. Sebagai turunannya, ilmu tarikh al-ruwah juga mempelajari tentang hal-hal yang bersangkutan dengan perawi ḥadiṡ. Sesuai dengan namanya, metode ilmu ini berfokus pada kajian tentang perawi melalui pendekatan sejarah bukan kepribadian dan kualitas perawi. Pendekatan yang dimaksud meliputi:
1.      Nama lengkap dan nama panggilan para perawi
2.      Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para perawi. Ini sangat penting untuk menolak pengakuan seorang perawi yang mengaku pernah bertemu dengan seorang guru/syaikh yang pernah memberikan ḥadiṡ padanya, padahal setelah diketahui tanggal lahir dan wafat gurunya tidak mungkin sekali mereka tidak saling bertemu, disebabkan kematian guruya mendahului daripada kelahirannya. Maka dengan demikian, ḥadiṡ yang mereka riwayatkan sanadnya tidak bersambung.
3.      Mengetahui guru-guru para perawi
4.      Masa para perawi mulai mendengarkan ḥadiṡ, hal ini dapat memberi informasi apakah menerima hadiṡ ketika masih anak-anak atau sudah balig. Hal ini menjadi penting karena sebagian ulama hadiṡ mempermasalahkan status semacam ini.
5.      Tempat tinggal dan negerinya para perawi, dari hal ini bisa diidentifikasi lingkungan sosialnya, semisal mażab yang dianut negerinya dan terutama mungkin tidaknya ia menjangkau suatu tempat (diamana seorang syaikh berada) yang dia akui sebagai tempat ia mengambil hadiṡ.
6.      Masa dan tempat perantauan para perawi dalam mencari ḥadiṡ.
7.      Orang-orang yang meriwayatkan ḥadiṡ dari para perawinya.
Metode pengumpulan informasi mengenai sejarah para perawi dengan berbagai kriteria yang ada difungsikan untuk memberikan gambaran yang baik mengenai kronologi hidup perawi. Data-data yang terkumpul tersebut selanjutnya akan didekati/ditelaah lebih dalam dengan ilmu jarh wa ta’dil untuk memetakan kualitas personal para perawi secara lebih komprehensif.

Contoh Tarikh al-Ruwah
Berikut contoh tentang aplikasi ilmu tarikh al-ruwah:
‘Ufair ibn Ma’dan dan al-Killa’iy bercerita, “Umar ibn Musa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid dan seraya ia berkata, “telah bercerita kepada kami guru yang ṡalih”.
Ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya, “Siapa yang kamu maksud guru yang ṡalih itu? Sebutlah namanya agar aku tahu!”
Jawabnya, “yaitu Khalid ibn Ma’dan”.
“Tahun berapa kamu bertemu dengan dia?” tanyaku.
“Aku bertemu dengannya tahun 108 H.” jawabnya.
“Dimana kamu bertemu?” tanyaku lagi.
“Aku bertemu dengan dia pada waktu perang Armenia” jawabnya.
Aku membentak, “Takutlah kepada Allah hai saudara, janganlah kau berdusta. Bukankah Khalid ibn Ma’dan itu wafat tahun 108 H? Sedangkan kamu mengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahun sesudah dia meninggal. Dia juga tidak pernah mengikuti Perang Armenia sama sekali, dia hanya ikut Perang Romawi saja.”[8]
Dari contoh di atas jelas, bahwa mengetahui tanggal lahir dan wafatnya juga penting untuk menolak pengakuan seorang perawi yang mengaku-aku pernah bertemu dengan perawi tertentu. Melihat masa hidup seorang perawi dan tempat-tempat yang ia singgahi dapat menjadi pijakan ‘mungkin’ atau ‘tidak mungkin’ seorang perawi bertemu dengan perawi lain yang ia sebut sebagai sumber rujukannya dalam pengambilan suatu hadiṡ.
Berikut ini contoh-contoh data sejarah dalam tarikh al-ruwah[9]:
v  Yang ṡahih tentang umur Nabi Muhammad saw dan kedua sahabat; Abu Bakar dan Umar adalah 63 tahun.
v  Rasulullah wafat pada waktu Dhuha hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H.
v  Abu Bakar meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 13 H.
v  Umar meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah tahun 23 H.
v  Utsman meninggal terbunuh pada bulan Dzulhijah tahun 35 H. berusia 82 tahun namun ada yang mengatakan 90 tahun. Pada hal ini tampak adanya perbedaan pendapat dalam tarikh al-ruwah, implikasinya tentu saja akan memunculkan perbedaan penilaian terhadap kualitas hadiṡ.
v  Ali terbunuh pada bulan Ramaḍan tahun 40 H. berusia 63 tahun.
v  Dua sahabat yang hidup selama enam puluh tahun semasa Jahiliyah dan enam puluh tahun pada masa Islam dan meninggal dunia di Kota Madinah tahun 54, keduanya adalah Hakim bin Hizam dan Hasan bin Tsabiṭ.
v  Pendiri maẓab-maẓab yang mempunyai pengikut serta tahun lahir dan wafatnya:
An-Nu’man bin Ṡabit (Abu Hanifah)   80-150 H
Malik bin Anas                                                93-179 H
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i         150-204 H
Ahmad bin Hambal                             164-241H
v  Pemilik kitab-kitab ḥadiṡ induk serta tahun lahir dan wafatnya:
a.       Muhammad bin Ismail al-Bukhari        194-256 H
b.      Muslim bin al Hajjaj an-Naisaburi         204-261 H
c.       Abu Dawud as-Sijistany                         202-275 H
d.      Abu Isa al-Tirmidzi                                 209-279 H
e.       Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i                 214-303 H
f.       Ibnu Majah (al-Qaswiny)                                   207-275 H
v  Kitab-kitab yang terkenal:
Diantara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu ḥadiṡ ini ialah al-Wafayat karya ibnu Zubr Muhammad bin Ubaidillah ar-Rib’i, ahli hadis Damaskus (w. 379 H); al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Aṡab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H); al-ISABAH fi Tamyiz as-Sahabah dan Tahżib al-Tahżib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta Tahżib al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusub Bin al-Zakki al- Mizzi (w. 742 h), dsb.
Jarh wa Ta’dil
Ilmu jarh wa ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu ḥadiṡ. Ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu ḥadiṡ lainnya dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu ḥadiṡ. Jika tarikh al-ruwah berfokus pada sisi sejarah perawi maka dalam jarh wa ta’dil berfokus pada penilaian kualitas personal perawi. Seorang ahli ḥadiṡ dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima ḥadiṡ terpenuhi. Kedudukan ilmu jarh wa ta’dil semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian ḥadiṡ atau biasa dikenal dengan sebutan takhrij al-ḥadiṡ.
Memang ada sebagian dari pada ulama beranggapan bahwa jarh wa ta’dil ini termasuk perbuatan gibah atau menggunjing, hal ini terbukti dengan perkataan Abu Turab al-Nakhsyubi az-Zahid kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Ya Syaikh, jangan menggibah para ulama!” namun Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Celaka kamu, ini adalah nasihat. Ini bukan gibah.[10] Walaupun begitu, para ulama ḥadiṡ tetap melakukan penilaian kriteria para perawi ḥadiṡ dengan ilmu jarh wa ta’dil ini agar kebenaran terungkap dan kebathilan pun hilang.
Seandainya para kritikus perawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para perawi, menguji kekuatan hapalan dan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh proses yang panjang dengan kesulitan yang besar, menyusun berbagai kriteria untuk memisahkan perawi yang baik dengan para perawi pendusta yang lemah dan kacau hapalannya, niscaya telah muncul kerusakan dalam Islam. Dalam ilmu ini kritik hanya ditujukan pada perawi bukan matan, apapun matannya, jika kualitas perawinya telah memenuhi kriteria maka hadiṡnya dapat ‘diterima’ menurut ilmu ini. Singkat kata kika sanad ṡahih otomatis matannya ṡahih[11].
Menurut Suhudi Ismail, jika ada yang mengatakan “tidak semua hadis yang sanadnya ṡahih matannya juga ṡahih”.  Hal tersebut bukan disebabkan oleh kaidah keṡahihan sanad hadis, tetapi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Alternatif penyebabnya adalah: [12]
a.      Kaidah keṡahihan sanad hadis tidak dilaksanakan secara konsekuen. Bentuk ketidakkonsekuenan ini dapat berupa, misalnya:
1)      Diterapkannya pendapat yang menyatakan bahwa seluruh ṡahabat Nabi bersifat adil. Kemudian dalam praktik, terdapat kecenderungan dari ulama hadis pada umumnya bahwa sahabat Nabi bukan hanya bersifat adil semata melainkan juga bersifat ḍabit.
2)      Diterapkannya pendapat yang menyatakan bahwa hadis mursal sahaby merupakan hadiṡ yang sanadnya bersambung dari sahabat bukan periwayat pertama kepada Nabi.
3)      Telah terjadi kesalahan penilaian terhadap periwayatan tertentu. Hal ini mungkin disebabkan karena ketentuan jarh wa ta’dil tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau mungkin terjadi kekeliruan pribadi periwayat yang dinilainya.
4)      Telah terjadi kekeliruan penafsiran kata-kata, atau singkatannya, atau harf, yang menghubungkan periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya yang terdapat dalam sanad.
b.      Karena terjadi perbedaan pendapat tentang unsur-unsur kaidah keṡahihan sanad hadis itu sendiri.
c.       Karena terjadi perbedaan sikap ulama hadis dalam menilai kualitas periwayat hadis tertentu. Mereka ada yang bersikap ketat (mutasyaddid), longgar (mutasahil) dan pertengahan (mutawassiṭ). Periwayat yang dinyatakan bersifat ṡiqah oleh ulama yang mutahasil belum tentu dinyatakan ṡiqah juga oleh ulama yang mutasyaddid.
d.      Karena telah terjadi periwayatan hadiṡ secara makna.
e.      Karena matan hadiṡ yang bersangkutan berkaitan dengan masalah nasikh-mansukh, atau ‘amm-khashsh, atau muthlaq-muqayyad, atau mujmal- mufashshal.
f.        Karena kaidah keṡahihan matan hadis yang digunakan masih belum akurat.
Dari pemikiran suhudi ismail sesungguhnya telah ada satu indikasi tentang perlunya kritik matan, dalam artian penelitian hadiṡ seseungguhnya tidak berhenti pada masalah sanad tanpa memperhatikan matan. Secara lebih lugas menurut Muhammad al-Ghazali kritik matan merupakan keniscayaan, adapun kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
  1. Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
  2. Matan hadis tidak mengandung illat qaḍihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak periwayatannya)[13]
Kritik matan yang diajukan Al-Ghazali meliputi empat hal yakni:
  1. Pengujian dengan Alquran
Dalam memahami Alquran hadis sangat penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi Alquran. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami Alquran sebagaimana pernyataan Al-Ghazali,
“Jelas bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang Alquran serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak”[14]
  1. Pengujian dengan hadis
Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih ṡahih.
  1. Pengujian dengan fakta historis
Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu diantara keduanya diragukan kebenarannya.
  1. Pengujian dengan kebenaran ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika hadis nabi mengabaikan rasa keadilan.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al-Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru. Al-Ghazali sendiri mengakui, bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama terdahulu. Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadis nabi. Dalam kajian hadis di era modern kritik matan mulai diterima secara luas sebagai bentuk perkembangan ilmu hadis.
Definisi Jarh wa Ta’dil
Kalimat al-jarh wa al-ta’dil merupakan gabungan antara dua kata yang memiliki makna satu kesatuan pengertian. Dua kata tersebut adalah al-jarh dan al-ta’dil. Secara etimologis arti al-jarh bentuk masdar dari kata جرح-يجرح-جرحا   yang berarti melukai.[15] Keadaan luka di sini dalam bentuk fisik maupun non fisik, seperti luka badan terkena benda tajam sehingga darah mengalir (fisik)[16] atau seperti luka hati karena mendengar kata-kata yang kasar dari seseorang (non fisik).
Selain itu, Jarh menurut etimologi berarti pula melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan diartikan pula jarh dengan memaki dan menistai, baik di muka ataupun di belakang. [17]
Sedangkan menurut pengertian terminologi jarh ialah,
الطعن في راوى الحديث بما يسلب أو يحل بعدالته أو ضبته
“Kecacatan pada perawi ḥadiṡ disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.[18]
ذِكْرُ مَا يُعَابُ بِهِ الرَّاوِيْ
“Menyebut sesuatu yang mengakibatkan tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang menolak riwayat)”.
Dengan demikian, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.[19] Jarh melekatkan sifat-sifat tercela terhadap para perawi dengan sifat-sifat seperti każżab, su’ al-hifẓ, mukhtalaṭ, gair ma’mun, dsb., sehingga tertolak riwayatnya.[20]
Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak pada diri seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Adapun istilah at-tajrih yaitu menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.[21]
Dari berbagai pengertian yang di kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa jarh berarti terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan keadilannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Sedangkan al-ta’dil secara bahasa adalah dari akar kata تعديل-يعدل -عدل berarti meluruskan atau menyamakan.[22]
Secara terminologi at-ta’dil adalah:
عكسه هو تزكية الراوي و الحكم عليه بأنه عدل أو ضابط
Lawan dari al-jarh, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau ḍabit”.[23]
Tentang kriteria keadilan atau keḍabitan perawi, al-Khatib al-Bagdadi[24], menyebutkan bahwa keadilan dan ke-ḍabitan meliputi (1) al-ṡidq, kejujuran, (2) al-syarifah bi ṭalab al-ḥadiṡ, terkenal dalam pencarian ḥadiṡ, (3) tark al-bida’, jauh dari praktik bid’ah, dan (4) ijtinab al-kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.
Selaras dengan definisi tersebut al-Qaṭṭan memaknai al-'adlu sebagai orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima berita dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan ḥadiṡ.[25]
وَصْفُ الرَّاوِيْ بِصِفَاتٍ تُوْجِبُ عَدَالَتَهُ الَّتِيْ هِيَ مَدَارُ الْقَبُوْلِ لِرِوَايَتِهِ
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya[26].
Dari kedua kata tersebut, sebagian ulama lain langsung mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
علم يبحث عن الرواة من حيث م ورد في شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“Ilmu yang membahas tentang para perawi ḥadiṡ dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu”.[27]
العلم الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم أو ردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.”[28]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘ilmu jarh wa ta’dil terfokus pada penelitian terhadap kualitas personal perawi ḥadiṡ, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat keadilan atau keḍabitan dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indikator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak atau minimal diragukan. Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan dan berimplikasi bahwa ḥadiṡ yang diriwayatkannya dapat diterima.
Urgensi Jarh wa Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil itu sangat penting untuk dipelajari, karena ilmu itu sangat bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang perawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang perawi dipuji sebagai seseorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima ḥadiṡ terpenuhi.
Seandainya ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari, maka seluruh orang yang meriwayatkan ḥadiṡ dinilai sama. Padahal, perjalanan ḥadiṡ semenjak Nabi Muhammad SAW. sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kemurnian sebuah ḥadiṡ perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah mażab dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan ḥadiṡ. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu ḥadiṡ yang disandarkan kepada Rasulullah SAW., padahal riwayatnya ada riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.[29] Jika seseorang tidak memahami benar atau salahnya sebuah riwayat, maka ia akan mencampuradukkan antara ḥadiṡ yang benar-benar dari Rasulullah dan ḥadiṡ yang palsu (maudhu’). Hal ini tentu saja akan merusak kemurnian agama Islam.
Dengan mengetahui ilmu jarh wa ta’dil, seseorang juga akan bisa menyeleksi mana ḥadiṡ ṡahih, hasan, maupun ḥadiṡ ḍaif, terutama dari segi kualitas perawi, bukan dari matannya. Dalam perpsektif ilmu ini, tidak peduli bagaimanapun matannya asalkan perawinya tidak memiliki cacat tertentu maka hadiṡ tersebut dapat diterima. Konsep inilah yang mulai mendapat perhatian dari para peneliti hadiṡ genarasi akhir.
Objek Kajian Jarh wa Ta’dil
Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas perawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga diidentifikasi periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Dengan demikian jelas bahwa objek kajian ilmu ini adalah para perawi sanad, kecuali para ṡahabat, namun ini masih menjadi perdebatan.
Dalam keyakinan sunni para ṡahabat itu kita pastikan punya sifat al-adalah, maknanya bahwa mereka bukan lah orang yang sengaja berdusta tentang Rasulullah saw. sebab mereka adalah orang-orang yang secara resmi disebutkan di dalam Alquran punya iman yang kuat, berpegang teguh pada taqwa, menjaga muru'ah, serta berakhlaq yang agung.
Namun bukan berarti mereka orang yang ma'ṡum dan kebal dosa. Bisa saja para shahabat itu punya sifat manusiawi, karena pada hakikatnya mereka memang manusia. Jadi tidak tertutup kemungkinan mereka juga keliru, salah, berdosa bahkan saling berperang satu sama lain.
Keadilan ṡahabat dikuatkan oleh pendapat para mufassir bahwa yang dimaksud dengan 'kamu adalah sebaik-baik ummat' dalam QS. Ali Imran: 110 tidak lain adalah para ṡahabat Nabi. Dan ungkapan ini bermakna ketetapan dari Allah SWT tentang sifat al-adalah yang melekat pada diri mereka. Demikian juga hadiṡ yang berbunyi,
خير الناس قرنى ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
Manusia terbaik adalah mereka yang hidup di abadku, kemudian abad berikutnya dan berikutnya. (HR. Bukhari)
Hadiṡ ini jelas sekali menyebutkan bahwa para ṡahabat adalah sebaik-baik manusia. Dan sifat al-adalah otomatis terdapat pada manusia-manusia terbaik. Oleh karena itulah maka kita tidak butuh memeriksa sifat al-‘adalah di kalangan para ṡahabat nabi. Sebab Allah SWT telah menjamin sifat itu ada pada diri mereka. Kalaupun ada kasus dimana ada ṡahabat yang melakukan dosa besar, mereka adalah orang yang dengan cepat langsung bertaubat. Selain itu jumlah ṡahabat itu terlalu banyak, jumlahnya mencapai 124.000 orang. Sedangkan yang tercatat pernah salah cuma beberapa gelintir orang saja. Maka generalisasi bahwa semua ṡahabat itu pendosa dosa, tentu sebuah kesimpulan yang salah kaprah. Inilah yang menjadi pegangan Sunni.
Namun lain halnya dengan pandangan kaum Syi’ah Imamiyah yang menyatakan bahwa tidak semua ṡahabat itu adil. Mereka berdalih kemurnian hanya akan dapat ditentukan dengan memperhatikan dengan sangat hati-hati akan kehidupan para sahabat Nabi saw. dan membiarkan perlakuan mereka berbicara untuk masing-masing karakter mereka dan sifat dapat dipercaya-nya.
Kelompok minoritas Islam ini membuat lima rukun sebagai timbangan dan ukuran dalam menentukan kedudukan, keistimewaan, dan keadilan seorang sahabat. Kelima rukun dimaksud sebagai berikut. Pertama, kekerabatan dan keturunan suci Nabi Muhammad saw. Ke dua, yang lebih dahulu menyatakan keimanan. Ke tiga, tingkat ketakwaan. Ke empat, tingkat keilmuan. Kelima, mereka yang mengakui kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW. sebagai pemimpin syar’i pengganti Nabi Muhammad SAW. tanpa disertai rasa benci dan terpaksa.[30] Bagi mereka, yang jelas adil adalah ahlul bait, sementera yang lainnya masih perlu diteliti tingkat keadilannya.
Para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah meyakini bahwa tidak semua ṡahabat Nabi Muhammad saw. bersifat adil. Sebagian sahabat memang memiliki sifat adil, namun sebagian lagi bersifat tidak adil. Jadi, ada ṡahabat yang istimewa dan ada ṡahabat yang memiliki watak buruk. Pendeknya, bagi mereka, bahwa pernyataan bahwa semua sahabat itu bersifat adil adalah pendapat yang bathil karena ribuan orang yang disebut ṡahabat tersebut hanyalah manusia biasa. Ṡahabat biasanya menjadi contoh adalah Mu’awiyah, salah seorang sahabat Nabi yang dalam pandangan Syiah mendapatkan bai’at dari kaum muslimin setelah melakukan pembunuhan, pengrusakan, pembakaran, dan mendapat kecaman dari para pembantu Rasulullah saw. Ia kemudian merampas harta kaum Muslimin yang telah dikumpulkannya selama dua puluh tahun ketika ia menjadi gubernur Syam. Hal ini ia lakukan demi memperkuat kekuasaan. Mu’awiyah kemudian memberi kepada kaum Muslimin yang ia namakan ‘rezeki pembaiatan’ untuk diberikannya kepada pasukan-pasukan yang berjasa dalam pemilihan khalifah yang baru. Ini adalah salah satu contoh bahwa pernyataan bahwa semua sahabat adalah adil bertentangan dengan kenyataan yang ada, sebab Mu’awiyah yang merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW. memiliki sifat sangat tercela.[31] Hal ini dibantah oleh kaum Sunni karena menurut versi Sunni, Hasan bin Ali bin Abi Ṭalib dengan ridha menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah yang hal ini menandakan bahwa Muawiyah tidak seburuk tuduhan Syiah Imamiyah. Memang terjadi perbedaan (pertentangan) pendapat antara Ali dan Muawiyah namun karena hal ini merupakan satu bentuk ijtihad maka keduanya tidak mendapatkan dosa walaupun melakukan kesalahan.
Selain mengannggap adanya ṡahabat yang menjadi murtad sepeninggal nabi, Syiah imamiyah juga meyakini adanya ṡahabat yang munafik. Para munafikin menampakkan keimanan, lisannya bersyahadat dan ucapan-ucapannya serupa dengan ucapan kaum muslim meskipun sebagai bentuk tipu daya dan hinaan mereka terhadap Islam. Mereka menampakkan keimanan dan berusaha keras membuat Rasulullah saw. percaya bahwa mereka termasuk orang-orang yang beriman. Hal ini seperti telah ditegaskan Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 14.
Artinya: Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."
Terdapat beberapa hadiṡ yang menjadi pijakan Syiah bahwa ada sebagian ṡahabat yang memang tidak adil bahkan mereka telah murtad. Diantara hadiṡ yang menjadi hujjah Syiah Imamiyah adalah,
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Kaṡir telah mengabarkan kepada kami Sufyan telah bercerita kepada kami Al Mughirah bin an-Nu’man berkata telah bercerita kepadaku Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (pada Hari Qiyamat) dalam keadaan telanjang dan tidak dikhitan. Lalu Beliau membaca firman Allah QS al-Anbiya’ ayat 104 yang artinya (Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan yang pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti dari Kami. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya). Dan orang yang pertama kali diberikan pakaian pada Hari Qiyamat adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan ada segolongan orang dari sahabatku yang akan diculik dari arah kiri lalu aku katakan: Itu Sahabatku, Itu sahabatku. Maka Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya mereka menjadi murtad sepeninggal kamu. Aku katakan sebagaimana ucapan hamba yang ṡalih (firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 117 – 118 yang artinya (Dan aku menjadi saksi atas mereka selagi aku bersama mereka. Namun setelah Engkau mewafatkan aku…) (HR. Bukhari no. 3100)
Dari Abdullah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku adalah orang yang mendahului kamu di telaga (haudh), maka sungguh orang-orang laki-laki diantaramu dinaikkan bersamaku, kemudian sungguh mereka dipisahkan dari aku, lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, Mereka itu adalah para ṡahabatku (ashabi). Maka dijawab: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathu ba‘da-ka) (Musnad Ahmad, 1/402, 406, 407, 384, 425 dan 453. Shahih Muslim, 7/68. Sahih al-Bukhari Hadis no. 578
Inilah sebagian alasan dari para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah tentang kebatilan pandangan bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW. bersifat adil. Dalam kitab-kitab mereka, banyak sekali argumen diajukan, baik argumen naqli maupun aqli, guna mendukung klaim mereka bahwa tidak semua ṡahabat itu bersifat adil.
Nabi memang dapat membedakan antara orang munafik dengan yang tidak namun tidak seluruhnya. Oleh sebab itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya,
“Dan di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (juga ada orang-orang munafik). Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, tetapi kami mengetahui mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemduian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-taubah (9): 101)
Allah menjelaskan, bahwa Nabi tidak mengetahui semua orang munafik, sehingga beliau mengira mereka termasuk sahabatnya padahal sebenarnya bukan, karena mereka adalah kaum munafik. Bagi Syiah ini adalah bukti adanya ṡahabat yang memang munafik namun bagi Sunni ini adalah bukti bahwa golongan munafik itu bukan ṡahabat namun hanya dikira ṡahabat oleh Nabi saw. Diketahui, setelah Nabi meninggal dunia, sebagian orang Arab murtad. Mereka murtad meninggalkan agama Allah sehingga Abu Bakar bersama para ṡahabat memerangi mereka. Dengan demikian sejatinya mereka tidak masuk lagi dalam kriteria ṡahabat karena meski mereka pernah hidup dan mendukung Nabi saw. namun mereka mati dalam keadaan murtad.[32] Sebagaimana Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i pernah berkata, "Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah SAW, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam."[33]
Alhasil, jika seseorang memang tidak pernah bertemu Nabi Muhammad SAW., atau pernah bertemu beliau, tetapi tidak dalam keadaan beriman, atau bertemu dalam keadaan beriman, tetapi meninggal dalam keadaan tidak beriman, maka ia tidak bisa disebut sebagai sahabat Nabi Muhammad saw. maka ketika nabi menyebut orang-orang murtad sebagai ṡahabatnya hanyalah dikarenakan memang beliau mengenali mereka ketika mereka masih muslim. Dan memang Nabi tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi kecuali sebagian yang memang Allah ilhamkan kepada beliau.
Sepanjang sejarahnya, persoalan tentang keadilan ṡahabat memang telah mengundang perdebatan di kalangan ‘ulama. Sebagian ‘ulama mendefinisikan istilah sahabat secara luas, sementara sebagian lainnya secara sempit. Sebagian ‘ulama menegaskan bahwa seluruh sahabat bersifat adil, sementara sebagian ‘ulama lainnya membagi sahabat menjadi dua, yaitu sahabat yang adil dan sahabat yang tidak bersifat adil. Mereka pun mengajukan sejumlah dalil, baik dari Alquran maupun hadis, guna mendukung pandangan mereka masing-masing tentang masalah keadilan sahabat tersebut. Benang merah dari permasalah ini adalah bahwa perbedaan sebenarnya bermula dari perbedaan pandangan ulama tentang definisi sahabat. Mengenai batasan tentang siapa sahabat itu sampai saat ini masih diperselisihkan. Maka ketika dikatan semua ṡahabat adil atau tidak semua adil, pertanyataan yang perlu diajukan lebih dahulu adalah ṡahabat dalam definisi yang mana, dalam batasan yang seperti apa.
Hukum jarh dan ta’dil
Al-Imam al-Nawawi dalam muqaddimah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan kita mencacat para perawi lantaran hal itu diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang umpatan, bahkan bahkan dipandang suatu nasihat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama. Ulama-ulama dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.[34]
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam macam, yaitu:
  1. Karena teraniaya. Boleh bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini.
  2. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran bahwa seseorang telah berbuat jahat, maka tegurlah dia.
  3. Untuk meminta Fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada seorang mufti bahwa ia telah dizalimi. Maka dia boleh menceritakan bagaimana jalan melepaskan diri dan kezaliman itu.
  4. Untuk menghidarkan manusia dari kejahatan orang yang jahat. Dalam hal ini, mencela diri saksi di depan hakim atau mencela para perawi ḥadiṡ yang memang patut dicela. Tindakan ini boleh hukumnya dengan ijma’ ulama, bahkan ada yang mengatakan hukumnya wajib.
  5. Orang yang dijarah itu orang yang terang-terangan berbuat bid’ah, maka boleh disebut secara terang-terangan bid’ah yang dianut dan maksiat-maksiat yang dilakukannya.
  6. Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan suatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh mengatakan “si A yang tuli” dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan bukan dengan maksud menjelekkannya.
Hukum bolehnya jarh wa ta’dil juga disampaikan Imam Ahmad ketika Abu Turab al-Nakhsyubi az-Zahid menyatakan ini ada perbuatan gibah. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Celaka kamu, ini adalah nasihat. Ini bukan gibah.[35]
Metode Jarh wa Ta’dil
Metode yang dipakai ulama dalam melakukan jarh dan ta’dil sangat beragam. Adakalanya para ulama sependapat dalam menilai pribadi periwayat ḥadiṡ tertentu dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu, adakalanya seorang kritikus juga mempunyai penilaian yang berbeda terhadap diri seseorang. Sehingga dengan adanya metode yang telah ditetapkan para ulama, diharapkan dapat dihasilkan penilaian yang lebih obyektif.
Berikut ini beberapa kaidah atau sebagai metode penyelesaian yang ditetapkan para ulama, jika terjadi perbedaan penilaian atas diri seorang periwayat. Sesungguhnya telah banyak teori atau solusi yang ditawarkan ulama untuk menyelesaikan pertentangan atau perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya dalam hal penilaian atas diri seorang periwayat. Keenam teori yang akan penulis kemukakan merupakan teori yang banyak dikemukakan dalam beberapa kitab-kitab ulum Alhadiṡ. Misalnya, al-Suyuti, dalam Tadrib al-Rawi, juz I. h. 305-314. Ibnu Ṡalah, h. 99. Asqalani, dalam Nuẓatun Nazar, hlm. 69. Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah Alhadiṡ, h. 142-147.
1. Al-Ta’dil Muqaddamun ‘ala al-Jarhi (Ta’dil didahulukan atas jarh)
Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat baiknya. Karena sifat dasar periwayat ḥadiṡ adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Maka sifat yang dominan adalah sifat terpuji.
2. Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala al-Ta’dil (jarh didahulukan atas ta’dil)
Maksudnya bila seorang dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat yang dinilai celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih paham pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus ḥadiṡ dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan.
Kalangan ulama ḥadiṡ, ulama fiqih, dan ulama usul fikih banyak yang menganut teori tersebut. Dalam hal ini, banyak juga ulama kritikus ḥadiṡ yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat tersebut.
3. Iża Ta’aradha al-Jarihu wa al-Mu’addilu fa al-hukmu li al-Mu’addil illa iża subita al-jarhu al-mufassar
Maksudnya, Apabila terjadi pertentangan antara komentar/kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah komentar yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Dalam hal ini apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah komentar yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Jumhur ulama mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian. Kemudian bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaan itu memang tidak relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji tersebut yang harus dipilih.
4. Iża Kana al-Jarihu ḍa’ifan fala yuqbalu jarhuhu li al-siqqah (Apabila kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah orang-orang yang tergolong ḍa’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima).
Maksudnya apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak ṡiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang ṡiqah, maka kritikan orang yang tidak ṡiqah itu ditolak. Alasannya orang yang bersifat ṡiqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak ṡiqah.
5. La yuqbalu al-jarhu illa ba’da al-tasabbuti khasyah al-asybah fi al-majruhina (Al-jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya).
Maksudnya apabila nama periwayat mempunyai kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah satu dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat dari kesamaan atau kemiripan dari nama tersebut. Suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan.
6. Al-jarhu al-Nasyi’u ‘an ‘adawatin dunyawiyyatin la yu’taddu bihi (Al-jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan).
Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan itu harus ditolak. Alasannya adalah pertentangan masalah pribadi tentang urusan dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku subyektif karena didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu, maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat ḥadiṡ yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit dihasilkan. Karena adanya landasan dalam jarh dan ta’dil maka ilmu tetap saja akan menyisakan perbedaan pendapat di kalangan ahli hadiṡ mengenai kualitas perawi tertentu.
Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan ta’dil dan syarat seorang kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, galaṭ, jahalah al-hal, da’wa al-inqiṭa’.[36]
1.      Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafiḍah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2.      Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih ṡiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan hadiṡnya syaż atau munkar.
3.      Galaṭ ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4.      Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah hadiṡnya tidak dapat diterima.
5.      Da’wa al-inqiṭa’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya mendakwa perawi, mentadliskan suatu hadiṡ.
Ketentuan Jarh wa Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan bahkan yang mengatakan bahwa agama Islam dibangun atas sanad. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi,
1.      Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Pada intinya jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang perawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadiṡ yang otentik dan mana hadiṡ yang palsu.
2.      Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu ḥadiṡ karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu ḥadiṡ karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.      Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان
“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
Para ahli hadiṡ sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para perawi hadiṡ. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
4.      Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan ṡiqah atau ‘adil karena ṡalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan jarh, umumnya sebab-sebab jarh-nya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima ḥadiṡnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak ḍabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Ketentuan berikutnya, untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaj al-Khatib ada dua jalan, yaitu:[37]
Pertama, melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
Ke dua, melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya. Hal ini dalam maksud agar peneliti hadiṡ tidak kemudian terjerumus dalam sikap mencari-cari kecacatan para perawi.
Jarh dan ta’dil ini merupakan kajian yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadiṡ, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:[38]
1.      alim (berilmu pengetahuan)
2.      Bertaqwa
3.      Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4.      Jujur
5.      Belum pernah dijarh
6.      Menjauhi fanatik golongan
7.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh dan Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang telah dikemukakan, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadiṡ diungkapkan dengan lafaż-lafaż tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadiṡ merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat jarh dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
Tingkatan Lafaż Ta’dil
Tingkatan lafaż ta’dil secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut[39].
أو ثق النَّاس, أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْر
Orang yang paling ṡiqah/terpercaya, paling ḍabit, tiada bandingan baginya
فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
Si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya
ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ
Terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik
متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابط ثبت
Kokoh, sempurna, hujjah, imam, adil lagi hafiẓ, adil lagi ḍabit
مأمون, لا بأس به قصدو
Benar, jujur, tidak ada masalah (Lafaż-lafaż tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya)
شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله
Syaikh, tidak jauh dari benar, agak baik, semoga benar (Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh)
Para ulama Hadiṡ menyatakan keṡahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan ke lima dan ke enam yang tidak menunjukkan keḍabitan seorang perawi, baru dapat diterima hadiṡnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.[40]
Tingkatan Lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya, sampai kepada yang paling ringan jarh-nya[41].
أكذب الناس،  ركن الكذب
Manusia paling pendusta, tiangnya dusta (Lafaż yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang sangat berat)
كذاب, وضاع
Pendusta, pengada-ada (meskipun lafaż yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalagah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama)
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ
Tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari hadiṡ, celaka, ditinggalkan, tidak ṡiqah
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
Ditolak hadiṡnya, dibuang hadiṡnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan hadiṡnya
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ  مُضْطَّرِبُ
Goncang hadiṡnya, tidak dijadikan hujjah, para ulama hadiṡ melemahkannya, dia lemah (mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan keḍaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat ta’dil)
ثق منه  ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف
Tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan (ini adalah tingkatan yang paling mendekatan adil)
Para ulama hadiṡ tidak berhujjah dengan hadiṡ-hadiṡ yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat ke lima dan ke enam, pada hadiṡnya hanya dapat dipergunakan sebagai pengambilan ibrah. Hal tersebut adalah karena tingkat keḍaifannya adalah ringan.
Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan tersebut maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi tersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Maka sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.[42]
Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hapalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang ḍabiṭ, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadiṡ, sebagai berikut:
1.      Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.[43]
2.      Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3.      Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tidak dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4.      Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil lebih substansial, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.




Daftar Pustaka‘Ajjaj al-Khatib. 2003. Usul Alhadiṡ. terj. Qodirun dan A. Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama A. Warson Munawwir. 1997. Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif Abduh Almanar. 2011. Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press Ahmad Niel. tt. Ulumul Alhadits (Ilmu Tarikh ar-Ruwah). (http://niel-aziz.blogspot.com/2013/05/ulumul-Alhadits-ilmu-tarikh-ar-ruwah.html) diakses 2/11/13 Al-Baghdadi. 1988. Al-Kifayah fi ilmi Al-Riwayah. India: Dairatul al-Ma’arif al-Utsmaniyah Fatchur Rahman. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. pertama. Bandung: PT al-Ma’arif Ibnu hajar, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, h. 101. Sebagaimana dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sahabat_Nabi diakses 10/1/14 Ja’far. tt. Beberapa Perspektif tentang Keadilan Sahabat. Sumatera Utara: Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara,. Louis Ma’luf. 1976. Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam. Bairut: Dar al-Syarqy M. Abdurrahman dkk. 2011. Metode Kritis Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia M. Hasbi ash-Shiddieqy. 1958. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet. ke enam. PT. Bulan Bintang: Jakarta---------------. 2010 Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra M. Syuhudi Ismail. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet. II. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Mahmud al-Tahhan. tt. Taisir Musthalah Hadits. Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah Manna Al-Qaṭṭan. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hadits. terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Munir Baalbaki dan Ruhi Baalbaki. 2006. Kamus Almaurid Arab-Inggris-Indonesia. Surabaya: Halim Jaya Munzier Suparta. 2011. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajawi Press Nawir Yuslem. 2006. Sembilan Kitab Induk Hadits. Jakarta: Hijri Pustaka Utama Nur Kholis. 2008. Pengantar Studi Al Qur’an dan Alhadits. Yogyakarta: Teras Nuruddin ‘Itr. 2012. ‘Ulumul Hadits. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Suryadi. 2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadits. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah Suryadi. 2004. Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga.


[1] Nur Kholis, Pengantar Studi Al Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008) h. 244[2] M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, cet. 2, 1993) h. 201.[3] Munir Baalbaki dan Ruhi Baalbaki, Kamus Almaurid Arab-Inggris-Indonesia, (Surabaya: Halim Jaya, 2006), h. 165 dan 392.[4] Mahmud al-Tahhan, Taisir Musthalah Hadis, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah), cet. VII h. 259.[5] Ahmad Niel, Ulumul al-Hadits (Ilmu Tarikh ar-Ruwah),           
(http://niel-aziz.blogspot.com/2013/05/ulumul-al-hadits-ilmu-tarikh-ar-ruwah.html) diakses 2/11/13[6] ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadiṡ. terj. Qodirun dan A. Musyafiq. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2003), h. 227[7] Nur Kholis, Pengantar Studi…, h.
[8] Mahmud Al-Tahhan, Taisir Musthala…, h. 259.[9]  Ibid, h. 259.[10] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadiṡ, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), h. 85.[11] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Cet. II, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 228[12] Ibid., h. 228[13] Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), h. 6[14] Ibid., h. 21[15] A. Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 180[16] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976), h. 83.[17] Muh. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadiṡ, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), h. 326.[18] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawi Press, 2011) cet. Ke-7 h. 31[19] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 157[20] M. Abdurrahman dkk, Metode Kritis Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 56[21]Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), h. 111[22] A. Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir…, h. 905[23] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawi Press, 2011) cet. Ke-7 h. 31[24] Al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ilmi Al-Riwayah, (India: Dairatul al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1988) dikutip dari: Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), hal. 112[25] Manna Al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu Hadiṡ, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 82.[26] M. Hasbi as-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadiṡ, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279.[27] Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadis…, Cet. Ke-6, h. 31.[28] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis…, h. 158[29] M. Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis…, h. 159[30] Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah al-Shahabah, h. 23-30 dalam Ja’far, Beberapa Perspektif tentang Keadilan Sahabat. (Sumatera Utara: Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, tt), H. 12[31] Ibid., 21[32] Menurut sebagian ulama (Sunni) seseorang baru disebut ṡahabat jika kedua syarat tersebut dipenuhi keduanya. Lihat, Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2003) h. 109.[33] Ibnu hajar, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, h. 101.
Sebagaimana dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sahabat_Nabi diakses 10/1/14[34] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet. ke enam, (PT. Bulan Bintang: Jakarta, 1958) h. 212[35] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadiṡ, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), h. 85.[36] M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 280[37] ‘Ajjaj al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h.267[38] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l-Hadits, Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 310[39] Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 173[40] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 166[41] Ibid., h. 174[42] Ajaj al-Khatib, ‘Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h. 267[43] Ibid., h. 267                     


Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment