Nilai-nilai berubah sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan kondisi intelektual. Ketika ini terjadi, harus ada perubahan dalam cara kita mendekati teks yang berhubungan dengan nilai-nilai tersebut. Alqur’an diberikan dalam konteks tertentu, maka Alqur’an harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam dalam konteks di mana ia diterima. Interpretasi kontekstual Abdullah Saeed memiliki persamaan dengan double movement theory-nya Fazlur Rahman. Keduanya memberikan perhatian berimbang pada konteks pewahyuan maupun konteks masa kini. Saeed memberikan rasionalisasi terhadap kebolehan bahkan penganjuran untuk mengontekstualisasikan Alquran yang telah dibekukan dalam mushaf.
Kegelisahan
Abdullah Saeed berangkat dari pertanyaan sederhana, bagaimana memahami Alquran
agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Konsekuensi dari
pertanyaan ini memerlukan sebuah upaya memahami Alquran berdasarkan muatan
legal-etisnya. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus, karena akan
berhadapan dengan otoritas tradisi penafsiran yang telah dianggap paling
otoritatif, yakni suatu pendekatan terhadap universalitas dan legal-etis
Alquran dengan hanya menggunakan kriteria legalis-linguitis.
Berdasarkan problem tersebut, Abdullah Saeed
menegaskan perlunya bangunan new approach dalam memahami Alquran. Sebuah
pendekatan yang kontekstualis dan demokratis, dengan melihat fleksibilitas
interuksi legal-etis Alquran, memahami konsep “pewahyuan” secara lebih luas,
dan memperhatikan koteks sosio-historis Alquran dalam menentukan meaning
pada the first recipients yakni
pendudduk Hijaz abad ke tujuh,
sehingga
dapat diperoleh pesan legal-etis Alquran yang relevan dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, the meaning Alquran
akan memiliki relasi praktis dengan aktivitas umat Islam sehari-hari. Dan
inilah yang menjadi concern dan tujuan utama Abdullah Saeed.
Muhammad
Al-Ghazali (w. 1996) berpendapat bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pendekatan
terhadap Alqur’an yang justru bertentangan dengan seruan Alqur’an untuk merenungkan,
memahami dan merefleksi yakni menghubungkan sejarah dan pemahaman masa lalu
(generasi salaf) dengan masa kini. Menurut Fazlurrahman, kebanyakan
muslim saat ini
tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa
kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang
relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas
pendapat tradisional.[1]
Sampai saat ini, pada sebagian besar interpretasi Alquran, fungsi penafsir hanyalah menjelaskan makna sejarah teks dengan
analisis filologis dan tata bahasa bukan pada konteks
sosio-historis (non
linguistik). Padahal konteks telah memainkan
peran penting
dalam penafsiran masa awal Islam hingga abad ke tiga/sembilan. Pentingnya pemahaman konteks telah
ditekankan Alqur’an dengan menyajikan banyak keterangan tentang budaya dan dimensi
fisik Hijaz dan Saudi seperti karakteristik fisik, peristiwa, sikap/perilaku, orang-orang
dan bagaimana mereka menanggapi panggilan Allah, lembaga, norma dan nilai
setempat. Hijaz merupakan cerminan dari budaya yang ada di Saudi dan wilayah
sekitarnya seperti Mediterania, termasuk Yahudi dan Kristen, Ethiopia dan Mesir sehingga Hijaz
menjelama sebagai bangsa yang plural.
Memahami hal semacam ini akan membantu pembaca (pencari makna Alquran) hari ini untuk
menentukan makna wahyu pada the first recipients. Karena
itulah Arkoun—sebagaimana Rahman dan Saeed—mengusulkan agar kita memikirkan
kembali tradisi penafsiran dilihat dari perubahan konteks.[2]
Interaksi Makkah dan Madinah dengan
komunitas lain melahirkan berbagai legenda, mitos,
ide, tokoh sejarah, gambar dan ritual hingga konsep
ketuhanan yang sebagiannya juga
dimuat dalam Alqur’an. Misalnya relevansi cerita nabi-nabi dengan kearifan lokal, baik Alkitab atau sumber lainnya. Alquran
juga memuat amal-amal yang sebelumnya dipraktikkan kaum kafir semisal haji dan
puasa. Tentu saja dalam Alquran amal-amal
tersebut telah
diislamisasi, dimurnikan dan
diperkenalkan kembali, dilucuti dari praktik politeistik.
Ada banyak
nilai-nilai pra-Islam kemudian diterima
sebagai bagian dari agama baru ini. Secara keseluruhan,
budaya yang dianggap penting dan memiliki nilai positif akan diterima, dan budaya yang dianggap buruk (fahsya’) akan ditolak. Misalnya, Alquran menolak seorang anak angkat untuk diperlakukan sebagai anak kandung. Hal
ini digambarkan dalam kasus
pernikahan Nabi dengan mantan istri anak
angkatnya, Zaid. Alquran bahkan juga mengakui norma yang ada dalam perang dan perdamaian termasuk perbudakan,
kurban yang tentu
saja dengan penghapusan unsur-unsur buruk di dalamnya kemudian memasukkan
prinsip keesaan Allah (tauhid).
Ada
banyak pernyataan dalam Alquran yang menunjukkan bahwa perempuan diposisikan inferior dari laki-laki. Sebagai
contoh, kesaksian dua perempuan dianggap setara dengan satu
orang dalam kasus-kasus tertentu. Dari sini Wahdud mengingkan adanya pembacaan Alquran perspektif
perempuan, ia beranggapan bahwa tafsir tradisonal bercorak patriarkis karena ia
diproduksi oleh kaum laki-laki sebagai konsekuensi logis dominasi laki-laki
terhadap konteks sosio-historis.[3] Namun Alqur-an, bagaimanapun, sesungguhnya tidak membenarkan diskriminasi terang-terangan
terhadap perempuan; penekanannya tetap pada
keadilan. Karena
bagaimanapun juga Islam telah meringankan
penderitaan perempuan dan melindungi kepentingan mereka, sebagaimana meringankan beban kelompok yang
lemah dan kurang beruntung lainnya di masyarakat Hijaz, seperti budak dan kaum
miskin yang
sebelum Islam status mereka jauh lebih buruk.
Konteks sosio
-historis : contoh hukum pewarisan
Contoh
yang paling jelas adanya hubungan Alqur-an dan konteksnya ditemukan dalam
ayat-ayat yang berhubungan warisan. Dalam hal warisan secara
keseluruhan, di mana ada laki-laki dan perempuan pada tingkat yang sama, misalakn sebagai anak
pewaris, perempuan selalu menerima lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Para penafsir berpandangan bahwa itu adalah wajar karena perbedaanjenis kelamin
membawa perbedaan tanggung jawab. Menurut Saeed mempertahan penafisran semacam ini berarti tidak berusaha
untuk menghubungkan perlakuan diferensial ini dengan konteks sosio–historis
saat ini yang telah berubah. Baginya ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan secara lahiriyah
memang ambigu jika dikaitkan dengan semangat persamaan yang diusung Islam,
bahwa perbedaan hanya pada ketakwaan.
Dalam
periode pra-modern, struktur sosial dan konteks Muslim masyarakat sering
berarti bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi yang lebih besar dan
oleh karena itu harus menerima warisan lebih besar. Dalam Hijaz pra-Islam,
ekonomi perempuan sering tergantung pada kerabat laki-laki, meskipun ada
pengecualian, seperti istri Nabi
Muhammad Khadijah, yang jauh lebih kaya dari Nabi sendiri. Secara politis,
perempuan tidak memainkan peran penting. Setelah kematian Nabi, posisi ini
semakin melemah oleh Muslim dalam mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai dari
sejumlah daerah yang baru ditaklukkan, seperti kekaisaran Sassanid. Dengan
menyandingkan perintah Alquran, situasi perempuan saat itu dan norma dan nilai daerah taklukkan, umat Islam mulai mengembangkan ide-ide baru tentang perempuan yang beberapa di antaranya mungkin tidak relevan dengan Quran sendiri. Tampaknya cara wanita itu
melihat secara bertahap memburuk dan ini kemudian dikonsolidasikan melalui
penggabungan pandangan seperti dalam hukum dan penafsiran. Perempuan sering dianggap tidak mampu memberikan saran
bahkan baik dan nasihat. Secara intelektual, mereka dianggap lemah, dan
pendapat mereka tidak layak pertimbangan. Ide-ide ini terus mendominasi,
termasuk bagi para ahli agama, bahkan sampai hari ini. Karena itu menurut
Engineer, tidak ada pilihan lain selain mengupayakan keberlangsungan eksistensi
Alqur’an di tengah perubahan soial dengan pembacaan kembali atau
meninggalkannya.[4]
Mengomentari
ayat Quran 2: 282 bahwa dua saksi
perempuan setara
dengan satu laki-laki, Rāzī menyatakan,
“Sifat
wanita didominasi oleh kelupaan karena dominasi suatu kondisi di dalam fisik
mereka. Ketika dua perempuan bergabung, mungkin yang lupa hanya satu wanita.
Oleh karena itu jika dua perempuan mengambil keputusan maka andaikan salah satu
dari mereka lupa yang lain bisa saling mengingatkan.”
Dalam
memahami teks Alquran yang berhubungan dengan perempuan, kita perlu menempatkan
ayat-ayat tersebut dalam konteks budaya yang lebih luas dengan
melihat konteks kontemporer. Hari ini, di banyak masyarakat
Muslim, perempuan secara ekonomi telah lebih mandiri dan juga
memainkan peran penting dalam masyarakat hingga menduduki jabatan presiden.
Ide awal tentang inferioritas intelektual
perempuan telah terbukti tidak berdasar, bahkan, perempuan bisa melampaui prestasi laki-laki. Kaitannya
dengan hal ini maka kita masih harus berhadapan dengan tafsir yang telah
diyakini para sarjana Muslim selama 1.400 tahun terakhir, atau kita berusaha
untuk mengeksplorasi bacaan lain untuk menyegarkan pemikiran kita. Seperti tawaran
Engineer, membawa Alqur’an pada konteks kekinian atau meninggalkannya.
Konteks Sosio-Historis dan Kultur Bahasa
Nabi
tidak pernah mengklaim bahwa ia datang untuk membasmi semua unsur-unsur budaya
dari Hijaz. Tugas utamanya adalah untuk mengajarkan ide-ide baru terutama yang
berkaitan dengan Tuhan, hubungan Allah dengan manusia dan ciptaan-Nya,
nilai-nilai moral dan kehidupan setelah kematian. Pada umumnya, cara hidup dan cara pandang rakyat Hijaz masih
dipertahankan. Inovasi yang diperkenalkan oleh Nabi lebih pada ranah teologi, spiritual dan etika.
Alquran pun berisi banyak bahasa yang merujuk simbol, metafora, istilah dan ungkapan yang berlaku di Hijaz. Bahkan dalam menggambarkan konsep
Islam Surga, Alquran menggunakan bahasa yang terkait erat dengan budaya
setempat dan imajinasi yang umum bagi penghuni padang pasir yakni sungai yang
mengalir, buah, pohon dan kebun. Setiap budaya memiliki cara yang unik untuk
menggambarkan isu-isu spesifik, ide-ide dan nilai-nilai, dan cara ini mungkin
tidak selalu sesuai jika diterjemahkan ke dalam konteks lain.
Konteks Sosio-Historis dan ‘Apa yang Bisa Berubah’ dan ‘Tidak Bisa Berubah’
Aturan-aturan
yang berkaitan dengan ibadah adalah perintah dari Allah dan Nabi, tidak ada
manusia selain Nabi yang memiliki
wewenang untuk mengubahnya sehingga ia dianggap
abadi. Berbeda dengan ini adalah muamalah, yang didasarkan pada lokalitas maka
ia bisa berubah hal ini sesuai dengan pernyataan Syafi’i bahwa hanya dalam
wilayah yang pokok saja suatu ijma’ bisa dicapai. Namun setelah masa
SYAFI’I ada pergeseran dalam mendekati teks yakni hukum harus didasarkan pada
teks secara kaku.
Terkait
dengan ini tekstualis beranggapan bahwa syariat
adalah kekal, dan bahwa umat Islam lah yang harus berubah sesuai dengannya. Pertama, makna syariah tidak dibuat jelas, ini berarti hukum
Islam juga didasarkan pada hal ini. Kedua,
jika dengan syariah yang dimaksud hanyalah hukum dan putusan yang disebutkan
dalam Alqur'an atau sunnah, maka ia telah menyangkal adanya perubahan. Ketiga,
ulama dari periode awal sampai sekarang telah memperdebatkan
perubahan dan memutuskan bahwa di beberapa tempat perubahan
bisa dinegosiasikan sementara di lain itu tidak. Ibnu Qayyim, telah mengakui
bahwa kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat mungkin mempengaruhi perumusan
hukum maupun perubahan hukum.
Banyak golongan tektualis berpendapat bahwa
umat Islam dari abad XXI tidak memiliki kewenangan untuk mengubah apa pun di
syariah atau bahkan untuk menafsirkannya. Padahal jika kita runtut sejarah maka
hal ini justru terasa ganjil karena reinterpretasi dan perubahan bukanlah hal
baru dalam Islam. Hal ini telah berlaku bahwa di era para sahabat. Sebagai contoh, Umar mengubah
sejumlah aturan jelas dinyatakan dalam Quran dan sunnah. Misalnya penolakan Umar untuk mendistribusikan tanah
Irak sebagai barang jarahan bagi tentara Muslim setelah penaklukan, meskipun ada instruksi dalam Alqur'an untuk melakukannya. Kondisi umat Islam yang telah berubah menjadikan Umar yakin bahwa ia bisa memilih jalan yang
berbeda. Inilah
yang harus dipahami pula oleh muslim kontemporer.
Di susun oleh:
(Purnomo, PAI Mandiri A, 1320411028)
[1] Fazlurrahman, Tema Pokok Alqur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. xi[2] Muhammad Arkoun, Rethingking Islam: Common Question, Uncommon Answer, terj. Roberd D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994)
[3] Amina Wahdud, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2004)
[4] Asghar Ali Enginerr, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid W. dan Cici F. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 3
0 comments:
Post a Comment