PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH/MADRASAH

gambar: mimanusaci.wordpress.com
Dunia pendidikan islam tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural. Bila tidak, dunia pendidikan justru dapat menciptakan ketegangan-ketegangan bahkan konflik sosial. Dalam uapaya tersebut penerapan Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural tentu saja mendapat peluang maupun tantangan. Diantara peluang pendidikan ini ialah bahwa: Indonesia adalah negara demokratis yang pluralistik; Pluralitas masyarakat Indonesia lebih dekat dengan wawasan multikultural; PAI menjadi sub-sistem pendidikan nasional, berpayung hukum dan mendapat ruang di kurikulum; dan agama mayoritas di Indonesia adalam Islam yang toleran.
Penerapan PAI berwawasan multikultural selain memiliki faktor pendukung juag dihadapkan dengan berbagai tantangan. Beberapa tantangan pendidikan ini adalah: Masyarakat plural rentan dipolitisasi dan truth claim seperti api dalam sekam yang mengancam; Sikap reaktif (anti) globalisasi dan persepsi negatif guru/pemangku kepentingan pendidikan terhadap signifikansi PAI berwawasan multikultural; PAI di sekolah masih befungsi sebagai suplementer daripada komplementer, dan Kejumudan produktivitas umat Islam.
A.    Pendahuluan
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk terdiri dari hampir 300 suku dengan hampir 200 bahasa.[1] Selain itu terdapat pula berbagai agama, aliran kepercayaan, etnis dan golongan. Masyarakat Indonesia memerlukan pengondisian strategis secara terus menerus sehingga keberagaman luar biasa yang dimilikinya tidak menjadi ancaman perpecahan yang dapat mengganggu kestabilan bangsa dan menghambat pembangunan. Masyarakat harus senantiasa dididik dengan wawasan multikultural agar pluralitas yang ada di Indonesia dapat disikapi dengan toleran, memberikan kesempatan masing-masing kultur untuk berekspresi.
Untuk mengembangkan konsep multikulturalisme diperlukan adanya usaha yang sungguh-sungguh dengan berpijak pada pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan tawaran alternatif melalui strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman untuk meningkatkan perilaku humanis, pluralis dan demokratis.[2] Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan.
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural. Bila tidak, dunia pendidikan justru dapat menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Dalam beberapa buku-buku kurikulum 2013 wawasan multikultural sudah mulai dimunculkan misalnya dengan mengganti tokoh Si Budi menjadi beberapa nama yang lebih mewakili pluralitas bangsa. Ada Si Edo yang keriting, Siti yang berjilbab, Dayu dari Bali, Lani yang sipit dan Beni dari Batak. Meski demikian masih terdapat pula materi-materi yang tidak sesuai dengan multikulturalisme misalnya dalam buku-buku PAI muncul bahasan sinis terhadap peziarah kubur atau bahwa ulil amri adalah imam-imam ahlul bait yang identik dengan pemahaman Syiah.
Oleh karena itu, di tengah gegap gempita kurikulum baru, harus dipahami bersama, terutama bagi guru bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan tema-tema lama yang kurang aktual tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban yang peka dengan tantangan pluralitas masyarakat modern. Terutama Pendidikan Agama Islam semestinya menjadi punggawa yang mengusung pendidikan berwawasan multikultural karena Islam adalam agama yang menekankan penghormatan terhadap pluralitas.
Pendidikan Multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi dimasyarakat, serta terjadinya munculnya kekerasasn sehingga menimbulkan pergeseran nilai-nilai Islam, moral dan adat istiadat.[3] Usaha tersebut tentu bukannya tanpa masalah karena setiap ide tentu akan mengalami kendala di ranah aktual. Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang pendidikan agama berawasan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui peluang tantangan Pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural di Indonesia.
B.     Peluang dan Tantangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah/Madrasah

1.      Peluang
Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural di Sekolah/ Madrasah memiliki peluang diantaranya;
a.       Indonesia adalah negara demokratis yang pluralistik
Dasar negara Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” UUD 1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama dengan satu pasal khusus, yaitu pasal 29. Di samping itu, semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang leluasa bagi beragam agama yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama di bawah satu kesatuan dasar Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia yang memiliki sistem pemerintahan demokrasi juga memberikan banyak ruang untuk tumbuhnya pendidikan berwawasan multikulutral. Hal ini akan berbeda jika saja Indonesia merupakan negara tirani ataupun teokrasi. Agama meskipun secara konsep merupakan sumber kedamaian namun ketika eksklusivisme menjadi pandangan hidup atau ideologi beragama yang dianut para pemuka agama dan penguasa Negara, maka biasanya agama bukannya menjadi sumber perdamaian, melainkan sumber konflik.[4]
Keterlibatan agama dalam memicu konflik sangat logis mengingat peran agama berikut:
”Agama memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi”[5].

Artinya, ada hubungan yang erat antara agama, ekonomi, dan politik sebagai sumber konflik sosial. Dalam kaitan ini agama setidak-tidaknya efektif untuk menumbuhkan sentimen keagamaan dalam diri penganutnya sehingga dapat dengan mudah ditunggangi oleh kepentingan lainnya, baik politik maupun ekonomi.
Keakraban Bangsa Indonesia dengan kondisi masyarakat yang plural banyak telah banyak dikemukakan. Azra, misalnya, meyakinkan masyarakat dunia, bahwa Indonesia merupakan negara plural dengan multi etnis, ras, dan agama yang mampu mengelola perbedaan dengan baik. Bahkan Eropa perlu belajar multikulturalisme dari Indonesia.[6] Hal ini tentu dapat dipahami karena bangsa Indonesia memang telah dihadapkan dengan isu-isu multikulturalisme bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan karena pluralitas di nusantara sudah dimulai sejak masa-masa kerajaan atau mungkin sebelum itu.
b.      Pluralitas masyarakat Indonesia lebih dekat dengan wawasan multikultural.
Bangsa Indonesia termasuk masyarakat yang akrab dengan wawasan multikultural. Sehak zaman Indonesia klasik yang mencapai titik puncaknya zaman Majapahit, Nusantara telah dihuni berbagai etnis dan ras yang saling berinteraksi dengan membawa budayanya sendiri. Dari sejumlah catatan menunjukkan bahwa banyak etnis yang hidup di wilayah Majapahit seperti Cina, Arab, Persia, dan India yang sebagian besar beragama Islam.[7] Dengan demikian memang telah ada pluralisme dalam kehidupan masyarakat Majapahit ketika itu.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dicuplik dari kitab Sutasoma yang ditulis di era Majapahit menguatkan bukti adanya kerukunan dan toleransi dalam masyarakat tersebut. Meskipun dasar agama resmi yang dianut Majapahit adalah Hindu, tetap penguasa memberikan hak hidup bagi dua agama lain, Budha dan Islam. Berdasar kenyataan tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa ada beban sejarah yang tidak selaras dengan pemaknaan Bhinneka Tunggal Ika semasa sekarang yang dipahami sebagai multikulturalisme.[8]
Wawasan multikultural di Indonesia terus bergulir tidak hanya menyangkut perbedaan suku ataupun ras namun juga agama. Pada perkembangannya masyarakat Indonesia menurut Komaruddin Hidayat terbagi menjadi lima tipologi sikap keberagamaan:[9]
1)      Eksklusivisme
Eksklusivisme melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan peganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.[10] Paham ini merupakan salah satu faktor signifikan yang menjadi penyebab lahirnya konflik antar umat beragama.[11]
2)      Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.[12] Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Seseorang dapat mengamalkan ajarannya  tanpa perlu merendahkan atau mengutuk yang lain.
3)      Pluralisme atau paralelisme.
Menurut aliran ini agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama, agama-agama lain berbicara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.[13] Menurut Komaruddin, sikap pluralisme lebih moderat dari pada inklusivisme atau bahkan dari eksklusivisme.[14] Sikap paralelistis memberikan keuntungan yang sangat positif, toleran dan hormat terhadap yang lain serta tidak mengadili mereka.
4)      Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan sebagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersikap ekletik.
5)      Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama.[15] Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.
c.       PAI menjadi sub-sistem pendidikan nasional; berpayung hukum dan mendapat ruang di kurikulum.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia nampak secara jelas urgensi dan kedudukan Pendidikan Agama Islam diantara jenis pendidikan yang lain. Hal ini tergambar dalam uraian UUD 1945, pasal 29 (1): "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa." (2): "Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut menurut agama dan kepercayannya itu.”
Pada pasal UUD 1945 di atas tersurat secara gamblang akan jaminan kepada setiap warga negara RI untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama yang dianutnya serta kegiatan yang dapat menunjang bagi pelaksanaan ibadah. Dengan demikian Pendidikan Agama Islam yang searah bahkan menunjang pelaksanaan ibadah yang diyakininya, diizinkan dan dijamin oleh negara.
Berdasar pada tujuan UU. No.20 th.2003 tersebut bahwa PAI juga sebagai rancangan dan penunjang untuk mencapai Pendidikan Nasional karena merupakan salah satu pendidikan yang mendukung tujuan Pendidikan Nasional. Untuk mengajarkan pendidikan norma yang langsung bersumber pada norma yang ada.
Pendidikan Agama Islam memiliki posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama Islam sering disebut sebagai pendidikan akhlak bangsa. Karena merupakan salah satu komponen strategis dalam kurikulum pendidikan nasional yang bertanggung jawab terhadap pembinaan watak dan kepribadian bangsa Indonesia dan tergolong dalam muatan wajib kurikulum.
Untuk menjalankan peran PAI berwawasan multikultural dan dalam rangka membangun keberagaman yang inklusif, toleran di sekolah atau madrasah ada beberapa materi pendidikan Islam yang hendak diintegasikan dengan pendidikan multikultural, yang menurut Erlan Muliadi dapat diupaya dengan beberapa hal, antara lain:
1)      Materi Alquran, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik
2)      Materi Fikih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
3)      Materi Akhlak yang memfokuskan kajiannya pada prilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, maka punahlah bangsa itu. Dalam Alquran telah diceritakan tentang kehancuran kaum Nabi Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
4)      Materi Sejarah Kebudayaan Islam, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.[16]
d.      Agama mayoritas di Indonesia adalah Islam yang toleran.
Umat Islam di Indonesia adalah penganut agama paling toleran di dunia. Pemerintah Indonesia juga sangat menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama, khususnya pemeluk agama minoritas. Karena itu, salah besar jika ada yang menuding agama Islam tidak menghargai perbedaan dan bersikap semena-mena terhadap penganut agama non-Islam.[17] Meski memang ada beberapa kasus yang menyangkut umat Islam namun secara umum umat Islam Indonesia memiliki hubungan kemasyarakatan yang toleran, baik dengan sesama muslim atau tidak.
Meskipun Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia namun kaum muslimin tidak bertidak sewenang-wenang terhadap agama lain justru sebaliknya pemerintah Indonesia begitu menghargai kaum minoritas. Misalnya, hanya di Indonesia hari raya semua agama diberlakukan libur sebagai bentuk penghormatan. Hal ini kiranya sulit terjadi jika negara tidak didominasi Islam yang toleran dan menghargai hak-hak kaum minoritas.
Sikap toleran dari kaum muslimin di Indonesia adalah hal yang sewajarnya terjadi sesuai tuntutan Islam. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun.[18] Islam sangat sejak awal telah mengenal multikulturalisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.

Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)"[19]

2.      Tantangan
Pluralitas dan heterogenitas masyarakat dalam banyak urusan lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi bila kenyataan itu juga dieksploitasikan secara struktural. Kemudian, yang akan didapat pastilah bukan “nation building”, melainkan kemungkinan lebih besar, malahan “nation bleeding”[20]. Upaya untuk mengembangkan sisi positif pluralitas tidaklah mudah, pelaksanaan pendidikan agama berwawasan multikultural selain memiliki faktor-faktor pendukung juga sarat kan tantangan misalnya:
a.       Masyarakat plural rentan dipolitisasi dan truth claim seperti api dalam sekam yang mengancam.
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar berbagai konflik. Beberapa peneliti berpendapat bahwa faktor politis, ekonomis dam primodialisme kesukuan merupakan bahan bakar konflik etnis.[21] Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih.[22]
Konflik etnis merupakan bahaya laten yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan pendidikan multikultural jika terjadi ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan faktor-faktor tersebut untuk kepentingan politis. Seperti munculnya isu anti pemimpin ‘Cina kafir’ di Jakarta yang digulirkan FPI atau kisah tragedi Sampit antara warga Madura dengan suku Dayak yang mengakibatkan pertumpahan darah.
Dalam lingkup yang lebih kecil, di kalangan internal Islam pun truth claim kerap kali menjadi sumber konflik. Sejarah telah mencatat puncak konflik yang sekaligus menjadi salah satu pengalaman keberislaman yang kelam bagi umat Muslim yaitu menggemanya konflik bertema sentral ketuhanan (teologi) yang terangkum dalam frasa zaman alfitan. Shahabat saling mengkafirkan, adu argumen mengenai hakikat sifat dan atau dzat Tuhan dan sebagainya. Perdebatan ini yang kemudian menggema dan menjadi persoalan yang pelik dalam sejarah pemikiran Islam. Sehingga memunculkan berbagai macam sekte-sekte pemikiran yang saling beradu argumen membela kayakinannya.[23]
Di Indonesia konflik yang bermula dari truth claim juga sering terjadi misalnya pada terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura, yang mengakibatkan dua orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Ada banyak kasus lain yang terjadi di internal kaum muslim yang terjadi karena adanya truth claim ataupun pertimbangan politis para penguasa.
Islam semestinya menjadi agama yang mendamaikan, rahmatan lil ‘alamin, memberi kebaikan kepada semua kalangan. Namun keberislaman kaum muslimin menjadi beragam karena ia telah menjadi fenomena sosial. Menurut Komarudin Hidayat agama selain sebagai fenomena transendental juga merupakan fenomena sosial-budaya. Agama akan terpengaruh oleh sebuah setting sosial budaya di lokus mana agama dimanifestasikan oleh manusia, aktor penting dalam mata rantai sosial-budaya tersebut. Dalam keberadaannya sebagai fenomena sosial budaya inilah agama rentan dari campur tangan dan percampuran kepentingan politis umat manusia.[24] Pada kenyataannya Islam memang seringkali kehilangan jati dirinya sebagai agama damai dikarenakan sikap kaum muslimin yang intoleran atau tidak multikulturalis.
b.      Sikap reaktif (anti) globalisasi dan persepsi negatif guru/pemangku kepentingan pendidikan terhadap signifikansi PAI berwawasan multikultural
Sebagian umat Islam memandang globalisasi termasuk gerakan multikulturalisme sebagai ancaman. Hal ini daat kita lihat dari kutipan berikut:
Karena pemusyrikan baru yang dilancarkan di dalam pendidikan Islam di Indonesia dengan nama inklusivisme, pluralisme agama, dan multikulturalisme itu menurut Alquran adalah lebih dahsyat bahayanya dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau seseorang itu yang dibunuh badannya, sedang hatinya masih beriman (bertauhid), maka insya Allah masuk surga. Tetapi kalau yang dibunuh itu imannya, dari Tauhid diganti dengan kemusyrikan baru yakni inklusivisme ataupun pluralism agama, ataupun multikulturalisme, maka masuk kubur sudah kosong iman tauhidnya berganti dengan kemusyrikan; maka masuk neraka.[25]

Dari kutipan tersebut di atas jelas menunjukkan sikap anti atau setidaknya sinisme terhadap multikulturalisme. Sikap ini tentu tidak bisa langsung disalahkan mengingat memang sebagian penggiat multikulturalisme yang kebablasan dalam menyuarakan pendidikan multikultural misalnya mengajarkan satu kesetaraan ketuhanan, atau dalam bahasa yang lain banyak agama tapi satu Tuhan.[26] Untuk itu perlu adanya perumusan kembali tentang multikulturalisme yang sesuai  dengan pendidikan Islam.
Perkembangan paham multikulturalisme sampai saat ini masih kurang memuaskan. Kasus-kasus konflik yang kerap mewarnai pemberitaan media cukup membuktikan, bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belum punya kesadaran yang baik akan hal ini. Jika dibiarkan bukan sesuatu yang tidak mungkin, Indonesia mengalami disintegrasi nasional.
c.       PAI di sekolah masih befungsi sebagai suplementer daripada komplementer
Berbagai hasil penelitian tentang problematika PAI di sekolah selama ini, ditemukan bahwa salah satu faktornya adalah karena pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari sisi-sisi pengajarannya. Guru-guru PAI sering kali hanya diajak membicarakan persoalan proses belajar mengajar, sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis semata (sebagaimana sekarang terjadi sebagai reaksi pergantian kurikulum).
Persoalan yang lebih mendasar yaitu yang berhubungan dengan aspek pedagogisnya, kurang banyak disentuh. Padahal, fungsi utama pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan yang mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan yang mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat sebagaimana amanat undang-undang maupun agama.
d.      Kejumudan produktivitas umat Islam
Secara ilmiah teologi Islam dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian, diantaranya: pertama, Teologi Islam klasik teoritik yaitu satu disiplin ilmu yang hanya membahas secara teoritik sekitar aspek-aspek ketuhanan dan pelbagai kaitannya telah dibicarakan oleh aliran teologi dalam islam. Kedua, teologi islam komtemporer praktik. Yaitu satu disiplin ilmu secara praktik mmbahas ayat-ayat Tuhan dan sunnah rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi pelbagai ketimpangan sosial. Pada teologi kontemporer ini dapat dibagi menjadi; teologi lingkungan, teologi pembebasan dan teologi sosial.[27]
Untuk  bisa mewujudkan gagasan pendidikan islam berwawasan multikultural peran teologi kontemporer sangat diperlukan. Dengan demikian kaum muslimin dituntut untuk produktif menghasilkan karya-karya yang lebih aktual dan humanis. Namun sebagaimana  banyak ditemui karya-karya islam hingga saat ini masih banyak berbicara tentang fikih yang lepas dari masalah-masalah sosial-sosial humanis.



DAFTAR PUSTAKAAbd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004. Adian Husaini, Problem Teologis Pendidikan Multikultural, http://inpasonline.com/new/problem-teologis-pendidikan-multikultural/ diakses 5 desember 2014. Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis Kemanusiaan, ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013.
 Azzumardi Azra, http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/berita/623-eropa-perlu-belajar-multi kulturalisme-dari-indonesia.html dipublikasikan pada Jumat, 7 November 2014. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.
 Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah, Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012/1433, 2012.
 Fasichul Lisan, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/08/167904-umat-islam-indonesia-paling-toleran diakses 5 Desember 2014
 Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Faham Inklusivisme, Pluralisme Agama, dan Multikulturalisme, http://www.arrahmah.com/news/2013/10/20/bahaya-faham-inklusivisme-pluralisme-agama-multikulturalisme.html#sthash.qz30USqI.dpuf diakses 5 desember 2014.
 Imam Setyobudi dan Mukhlas Alkaf, “Kendala Multikulturalisme di Indonesia; Analisis Diakronis dan Sinkronis”, MUDRA Jurnal Seni Budaya, Vol. 26, No. 2, 2011
 L. Soetrisno. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press, 2003 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural: Telaah Pemikiran Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran PAI, Yogyakarta: Idea Press, 2009.
 Mundzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, cet. ke-1. Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008.
 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep Dan Aplikasi, cet 3, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
 Wasino, “Multikulturalisme dalam Sejarah Sosial”, Paper dipresentasikan dalam acara seminar Multikulturalisme Dan Integrasi Bangsa Dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata di Semarang, tanggal 7 Juli 2011. Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan, Bandung: Mandar Maju, 1994.
  

[1] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm.  4.[2] Ibid., hlm. 5.[3] Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 36.[4] Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural ‘Telaah Pemikiran dan Implementasinya Dalam Pembelajaran PAI’, (Yogyakarta: Penerbit Idea Press, 2009), hlm. 41.[5] Soetrisno, Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003). hlm 39[6] Azzumardi Azra, http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/berita/623-eropa-perlu-belajar-multi kulturalisme-dari-indonesia.html dipublikasikan pada Jumat, 7 November 2014. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.[7] Wasino, “Multikulturalisme dalam Sejarah Sosial”, Paper dipresentasikan dalam acara seminar Multikulturalisme Dan Integrasi Bangsa Dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata di Semarang, tanggal 7 Juli 2011.[8] Imam Setyobudi dan Mukhlas Alkaf, “Kendala Multikulturalisme di Indonesia; Analisis Diakronis dan Sinkronis”, MUDRA Jurnal Seni Budaya, Vol. 26, No. 2, Juli 2011, hlm. 205[9] Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural …, hlm. 38.[10] Ibid, hlm. 38.[11] Ngainun Naim, “Pendidikan ..., hlm. 126.[12] Muhammad Tang, dkk, Pendidikan Multikultural …, hlm. 39.[13] Ibid, hlm. 40.[14] Ibid.[15] Ibid, hlm. 41.[16] Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah, Jurnal Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga, Vol. 1, No. 1, Juni 2012, hlm. 55[17] Fasichul Lisan dalam http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/08/167904-umat-islam-indonesia-paling-toleran diakses 5 desember 2014.[18] Mundzier Suparta, Islamic Multikultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia,  (Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008), hlm. 5.[19] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, sesuai kutipan Mundzier Suparta, Islamic Multikultural... hlm. 5[20] Budiono Kusumohamidjojo, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo. hlm 49[21] M. Ainul Yaqin, “Pendidikan ..., hlm 207.[22] Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 22.[23] Alwi Bani Rakhman, Teologi Sosial; Keniscayaan Keberagamaan yang Islami Berbasis Kemanusiaan, ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013, hlm. 162.[24] Muhammad Tang, dkk,  Pendidikan ..., hlm. 43.[25] Hartono Ahmad Jaiz, “Bahaya Faham Inklusivisme, Pluralisme Agama, dan Multikulturalisme”, http://www.arrahmah.com/news/2013/10/20/bahaya-faham-inklusivisme-pluralisme-agama-multikulturalisme.html#sthash.qz30USqI.dpuf diakses 5 desember 2014.[26] Adian Husaini, “Problem Teologis Pendidikan Multikultural”, http://inpasonline.com/new/problem-teologis-pendidikan-multikultural/ diakses 5 desember 2014.[27] Muhammad Tang, dkk,Pendidikan...” hlm. 33-34.
Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment