EPISTEMOLOGI DUALISME PENDIDIKAN NASIONAL


Yang paling mungkin dilakukan saat ini mendialogkan ilmu agama dan sains, bukan memenangkan agama atas sains atau sebaliknya. Gagasan untuk menghapuskan dualisme pendidikan nasional nampaknya juga masih jauh api dari panggang. Namun kita masih dan selalu memiliki harapan. Sistem pendidikan nasional yang terlanjur mengkotak-kotakkan pendidikan boleh saja masih berlangsung namun tugas kita adalah membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan yang ada.


Pendahuluan
Ayat-ayat Alquran yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah perintah membaca serta pembicaraan tentang pena dan ilmu. Hal ini menunjukkan keutamaan ilmu dalam Islam, yakni seorang Muhammad saw. tidak dibebankan kepadanya kewajiban apapun sebelum kewajiban membaca.
Firman Allah,
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Al-'Alaq: 1 - 5)
Dengan tidak disebutkannya objek bacaan, sesungguhnya ayat ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam tidak ingin membeda-bedakan sumber ilmu, tidak pula mengkotak-kotakkan ilmu. Namun sejak beberapa dekade terakhir, hampir semua negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas muslim telah mendikotomikan ilmu dan mengadopsi sistem dualisme pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang mengklasifikasikan sekolah menjadi nasional dan sekolah agama. Sistem pendidikan ini tentu amat jauh berbeda dengan spirit iqra’ yang non-dikotomis.
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam Pertama diadakan di Makkah antara 31 Maret dan 8 April 1977 (12-20 Rabi'ul Akhir 1397), dengan tema "Dasar Sistem Pendidikan Islam". Secara umum, anggota konferensi yang terdiri dari tiga ratus lima puluh cendekiawan muslim dari berbagai belahan dunia dan dari berbagai disiplin ilmu dan spesialisasi yang menghadiri konferensi tersebut memunculkan suara bulat bahwa kondisi pendidikan di sebagian besar negara-negara muslim (berpenduduk mayoritas Islam) tidak benar-benar mencerminkan cita-cita dan karakter Islam.[1] Salah satu hal mendasar yang dianggap sebagai pokok masalah ialah dualisme dan dikotomi pendidikan dalam dunia pendidikan Islam.
Meskipun klasifikasi ilmu pengetahuan memang ada dan dikenal dalam sejarah pendidikan Islam, namun bukan berarti jenis pengetahuan bekerja atau beroperasi dengan cara terpisah, terdikotomi atau bahkan kontradiktif. Menurut el-Muhammady, kedua hal tersebut harusnya saling menopang, saling berhubungan dan mengintegrasikan dengan satu sama lain untuk mengembangkan individu dan akhirnya mengarah ke peradaban progresif.[2] Modelnya bisa dilihat pada pendidikan masa Dinasti Abbasiyah yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama sehingga melahirkan banyak ilmuan agamis atau agamawan ilmiah.
Golden age ilmu pengetahuan yang berpijar di masa Abbasiyah sayangnya tidak bertahan lama. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-17 Islam benar-benar mengalami kemunduran yang siginifikan, satu tahapan sejarah yang dikenal dengan abad stagnasi pemikiran Islam.[3] Stagnasi tersebut rupanya masih menyuramkan pendidikan Islam hingga hari ini. Sistem pendidikan yang lazim berlaku di negara-negara muslim justru menimbulkan konflik antara orang-orang yang berpikiran modern/sekuler dan yang berorientasi pada pikiran keagamaan.[4] Atas dasar kesadaran tersebut, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam Pertama mengusulkan tinjauan kritis, reformasi dan integrasi antara pengetahuan modern dan warisan Islam. Rekomendasi yang dibuat adalah untuk meningkatkan pengajaran, pembelajaran dan penelitian warisan Islam dengan mendirikan universitas Islam, yaitu, universitas dengan kurikulum yang mengintegrasikan disiplin modern dan warisan Islam.
Apa yang dirumuskan dalam konferensi tersebut menunjukkan kuatnya isu tentang dikotomi pendidikan yang berimplikasi pada munculnya dualisme pendidikan. Praktik dualisme yang mengikuti prinsip dasar bahwa ada dua jenis pengetahuan dan pendidikan: pengetahuan agama dan pendidikan keagamaan" dan "pengetahuan sekuler dan pendidikan sekuler" telah memperlebar jarak keduanya bahkan seakan keduanya adalah entitas yang berbeda dan dipertentangkan. Menurut Tajul Ariffin Nordin, hubungan sebab-akibat tersebut terjadi karena wujud dualisme yang melihat agama dan ilmu sebagai dua hal yang tidak dapat dipertemukan sehingga kondisi dan lingkungan pendidikan yang ada hari ini sukar untuk menghasilkan manusia yang seimbang dan terintegrasi baik dari segi intelektual, jasmani dan kerohanian. Hasil dari keadaan tersebut telah memunculkan kurikulum pendidikan yang memperlihatkan pemisahan antara pembelajaran agama dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain. Keduanya mempunyai wilayah-wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peranan yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing bahkan sampai kepada institusi pelaksanaannya.[5]
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dualisme dan dikotomi merupakan dua hal yang terikat erat satu sama lain meskipun keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar, yaitu dikotomi lebih terfokus pada aspek isi atau konten materi, sedangkan dualisme itu lebih mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan, seperti madrasah di bawah naungan Kementerian Agama dan sekolah di bawah payung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Respon cendikiawan muslim Indonesia terhadap fenomena ini pada dasarnya telah bergulir ditandai dengan munculnya berbagai ide rekonsiliasi ilmu semisal Islamisasi ilmu pengetahuan, ilmuisasi Islam dan integrasi-interkorelasi ilmu serta berdirinya Universitas Islam; yang semuanya bertujuan untuk menghapus atau setidaknya meminimalisir dampak buruk dualisme pendidikan yang tengah berjalan. Ide ini cukup relevan dengan konteks Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun aspek sejarah dualisme pendidikan di Indonesia menjadi salah satu faktor penentu untuk memberi pemahaman akan adanya kesenjangan besar antara dampak pemikiran dualisme dengan pemikiran Islam dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Dikotomi dan dualisme bukan lagi persoalan biasa, tapi sudah menjadi sebuah ancaman besar yang selalu berakhir pada kegagalan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dengan menyadari kontradiksi tersebut, maka keberadaan dualisme dalam pendidikan di Indonesia perlu ditelusuri epistemoginya. Mencari rumusan atau konsep epistemologi pendidikan dapat diartikan sebagai suatu usaha mencari tahu tentang asal-usul, jangkauan wilayah dan arah dari perkembangan ilmu pendidikan sebagai suatu obyek penelitian serta ditelaah secara sistematis, koheren dan konsisten dari awal sampai akhir.
Pengertian Dualisme dan Dikotomi Pendidikan
Dualisme berasal dari dua kata dalam Bahasa Latin, dualis atau duo berarti dua, sedangkan ismus itu berfungsi dalam membentuk kata nama dalam sebuah kata kerja. Secara terminologi dualisme berarti paham bahwa dulu kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan (seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap); keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau tidak sejalan.[6]
Sedangkan kata dikotomi berasal dari Bahasa Inggris “dichotomy” yang artinya membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam Bahasa Inggrisnya dichotomy tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi dikotomi yang arti harfiahnya adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.[7] Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang berbeda yang sulit untuk diintegrasikan, sikap tersebut sudah menjadi sikap dikotomi.
Berdasarkan uraian di atas, jika dikotomi dan dualisme tersebut dihubungkan dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka bisa dipahami bahwa dikotomi dan dualisme merupakan pemisahan keilmuan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum. Namun, dari kedua istilah tersebut terdapat perbedaan mendasar, yaitu dikotomi mengarah pada aspek isi atau konten materi, sedangkan dualisme mengacu pada sistem pengelolaan pendidikan, yakni diberlakukannya sistem sekolah dan madrasah.
Sejarah Dualisme pendidikan Indonesia
Dalam internal sejarah Islam benih-benih dualisme dapat ditelusur dari pertentangan teologis antara pengikut aliran Mu’tazilah dan ulama ortodoksi Sunni yang menimbulkan fanatisme aliran yang berlebihan. Pemisahan ilmu naqli dan aqli atau ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sedangkan menurut pemikiran al-Faruqi munculnya dikotomi tersebut disebabkan oleh imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam, serta adanya pemisahan antara pemikiran dan aktivitas di kalangan umat Islam.[8] Rembesan dikotomi yang melanda dunia Islam tersebut, ternyata hingga ke Indonesia. Gejala ini menurut Amin Abdullah, akhirnya mendorong proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan[9].
Bagi Indonesia, tidak hanya persoalan dikotomi yang kentara, tetapi juga dualisme yang nampaknya memang sengaja dilanggengkan. Dualisme pendidikan di Indonesia sudah menjadi sebuah penyakit yang akut dan mengakar bersama sejarah berdirinya negara ini. Menurut Karel A. Steenbrink (1986) yang dikuatkan oleh Saridjo, kondisi yang serba mendua dalam dunia pendidikan Indonesia telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda.[10]
Sebelum Belanda datang ke tanah air, rakyat atau warga pribumi telah mengenal budaya ilmu melalui masjid dan rumah para ulama (kyai) atau mubalig. Tradisi ini terus berkembang hingga lahirlah pesantren di berbagai daerah. Ketika Barat dan kolonialismenya datang maka dimulailah persinggungan atau–meminjam istilah Huntington—clash of civilization antara pendidikan Islam dan Barat. Pendidikan Islam yang sedemikian kontras dengan budaya sekuler Barat menjadikan kaum kolonialis menolak untuk menyesuaikan dan menggabungkan diri. Mereka menilai bahwa pendidikan Islam terlalu jelek. Alasan lainnya tentu saja berkaitan dengan kepentingan ideologi ‘Gospel’ yang kontradiktif dengan dakwah Islam. Dualisme pendidikan adalah sarana untuk mengendalikan Islam yang merupakan ancaman bagi hegemoni mereka di tanah air. Kurikulum madrasah diawasi ketat dan sewaktu-waktu bisa ditutup, sementara sekolah umum disterilkan dari pendidikan Islam.
Pada perkembangannya, ada dua departemen bentukan Belanda yang mengurusi pendidikan yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst yang bertugas untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum, dan Departemen van Binnenlandsche Zaken yang bertugas untuk mengawasi pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam[11]. Selain berbagai alasan yang telah dikemukakan, kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari politik devide et impera yang sengaja membentuk kelas-kelas di masyarakat pribumi.
Ironisnya, warisan buruk ini tetap berlanjut dan dipertahankan meskipun era kolonialisme di Indonesia telah usai. Perundang-undangan negara tentang sistem pendidikan yang ditetapkan satu dekade pasca kemerdekaan justru dengan jelas memberi peluang terjadinya dualisme pendidikan. Pasal 10 ayat (2) undang-undang No. 4 tahun 1954 menyatakan bahwa, ”belajar di sekolah agama yang mendapat pengakuan dari Kementerian Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Umat Islam di masa tersebut nampaknya lebih melihat hal ini sebagai peluang untuk memajukan madrasah-madrasah yang ada dan kurang memperhitungkan bahaya laten yang akan muncul karena kebijakan tersebut. Pilihan ini diperkuat dengan kekhawatiran jika pendidikan Islam menginduk ke Kemendikbud maka bisa saja pendidikan Islam akan kehilangan ekistensi meskipun ada keuntungan yang diperoleh misalnya ketersediaan dana yang lebih besar.
Ancaman Dualisme-Dikotomi Pendidikan Indonesia
Pemisahan ilmu dalam dunia pendidikan, menjadi ilmu umum dan ilmu agama, telah mengantarkan dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu pendidikan yang mandul dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang kurang bertanggungjawab terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan. Demikian pula pendidikan agama yang terlalu memisah dari dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah melahirkan ahli-ahli agama yang tidak peka terhadap kehidupan sosial, dan terasing dari modernitas.[12]. Hal ini secara otomatis menjadi kontributor terbesar dalam pemunduran umat Islam dan umat manusia di Indonesia.
Ilmu-ilmu sekuler sekarang ini sedang terjangkit krisis (yaitu tidak dapat memacahkan banyak persoalan), mengalami kemandegan (tertutup untuk alternatif-alternatif), dan penuh bias (filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, ekonomis, politis dan jender).[13] Sulit rasanya untuk mengelak bahwa hal ini juga merupakan dampak dari terpisahnya ilmu-ilmu pengetahuan umum dari nilai-nilai agama. Alumni pesantren yang buta dengan kemajuan teknologi sama ironisnya dengan para cendikiawan yang tak tersentuh agama.
Sedangkan menurut Ikhrom setidaknya ada empat dampak dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, yaitu[14]:
1.      Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukkan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga-lembaga tersebut telah merubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
2.      Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan harus adanya keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat.
3.      Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem pendidikan (umum/Barat dan agama/Islam) berusaha mempertahankan eksistensinya.
4.      Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijadikan tolok ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan Indonesia.
Sementara itu, di kalangan masyarakat grass root ada anggapan bahwa sekolah agama dan lulusannya digolongkan dalam kelas ke dua, dikaitkan dengan kualitas personal serta peluang pekerjaan bagi para lulusannya. Mungkin anggapan ini memang ada benarnya mengingat adanya perbedaan yang terjadi bahwa alokasi dana untuk sekolah umum yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih besar porsinya ketimbang dana untuk madrasah yang berada di bawah Kementerian Agama. Hal ini tentu saja akan menjalar ke masalah-masalah lain seperti minimnya kualitas sarana dan pra-sarana, tenaga kependidikan dsb.

Mengurai Problematika Dikotomi dan Dualisme Pendidikan Indonesia
Telah banyak pemikir Islam yang merumuskan solusi untuk problematika dikotomi dan dualisme pendidikan Islam misalnya: Paradigma “Ilmuisasi Islam” oleh Kuntowijoyo, Paradigma “Islamisasi Ilmu” oleh Al Faruqi, Naquib Al-Attas, Harun Yahya dan Paradigma “Islamisasi Penuntut Ilmu” oleh Fazlur Rahman. Berbagai paradigma tersebut sesungguhnya merupakan respon terhadap tuntutan dikotomi, namun sebagaimana penulis ungkapkan bahwa antara dikotomi dan dualisme memiliki hubungan sebab-akibat yang erat meskipun keduanya berbeda. Dengan demikian, menghapus dikotomi menjadi ayal ketika dikotomi masih ada.
Salah satu tokoh utama dalam upaya menghapus dikotomi ilmu ialah Syed Naguib al-Attas. Ide pokok sekaligus sumbangan besar al-Attas ialah: Pertama, bahwa masalah terpenting yang dihadapi oleh umat Islam kini ialah masalah ilmu pengetahuan; ke dua, ilmu pengetahuan modern tidak netral karena dipengaruhi oleh pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesedaran dan pengalaman manusia Barat; dan ke tiga, umat Islam, oleh sebab itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa ini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik tentang hakikat dan kebenaran.[15]
Pemikiran al-Attas ini sejalan dengan semangat al-Faruqi yang juga mempopulerkan ide Islamisasi ilmu pengetahuan sehingga menjadi perhatian para cendekiawan lainnya. Bedanya, aI-Attas lebih menekan ilmu-ilmu sedangkan aI-Faruqi ia lebih menekankan islamisasi ilmu-ilmu sosial.[16] Menurut Al-Faruqi pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya tersebut harus beranjak dari Tauhid.[17]
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin modern
2. Menguasai khazanah Islam
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
4. Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan, dimulai dari memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim yang sekuler.[18]  Sebuah tugas yang nampaknya sangat berat dipenuhi oleh pendidikan Indonesia yang terlanjur dualis. Meski banyak kalangan akhirnya menilai bahwa gagasan al-Faruqi dan al-Attas tersebut telah gagal tapi sejatinya mereka berdua telah melakukan ijtihad yang tidak sia-sia.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari paradigma yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Quran, menjadikan al-Quran sebagai suatu paradigma. Dalam hal ini Kuntowijoyo mengusulkan perlunya integrasi ilmu dan agama, yang ia sebut sebagai ilmu-ilmu integralistik, yang merupakan paradigma Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penelitian secara sistematis. Penelitian ini dapat berupa: (1) grand theory (merumuskan pendapat-pendapat Alquran, misalnya mengenai gejala-gejala sejarah), (2) studi teori (tokoh-tokoh Islam mengenai salah satu cabang humaniora, seperti Ghazali tentang musik, Iqbal tantang puisi. (3) Studi lapangan, berupa generalisasi, seperti “Tari Islam Tradisional” di Asia Tenggara, studi komparatif, dan studi kasus.[19]
Inti pemikiran kontowijoyo adalah upaya objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ’alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektifikasi ajaran Islam. Implementasi gagasan ini dapat kita lihat dalam praktik ekonomi Islam yang kini telah diakui dunia sebagai salah alternatif lain diluar ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam (syariah) tidak lagi eksklusif milik umat Islam ia telah menjadi sebingkai ilmu terbuka yang bisa dipejari siapapun.
Sedangkan menurut Fazlur Rahman seharusnya bukan ilmunya yang harus diisi dengan dengan nilai-nilai Islam melainkan orang yang mencari ilmu tersebutlah yang harus benar-benar diislamkan terlebih dahulu dengan nilai-nilai Islam agar nantinnya ketika ia mengajarkan ilmunya kepada orang lain tentu dengan nilai-nilai Islam yang telah ia pelajari sebelumnya. Dengan demikian perubahan kurikulum maupun sistem pendidikan di Indonesia tidak akan berperan banyak selama kaum muslimin masih terhijab dari nilai kebenaran dan hakikat pendidikan Islam yang non-dikotomis. Sebaliknya seburuk apapun sistem yang ada, meski dualisme masih dipertahankan, asalkan manusianya baik maka pendidikan Islam yang baik masih dapat berjalan atau setidaknya diupayakan.
Sejarah peradaban Islam telah membuktikan bagaimana para penuntut ilmu dapat tetap eksis dalam carut-marutnya pemerintahan. Islam telah melahirkan banyak ilmuwan dunia, yang tidak hanya berfokus pendidikan umum semata-mata bahkan diintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, sehingga mereka tidak hanya diagungkan oleh muslimin namun juga umat manusia secara umum. Misalnya, al-Kindi berhasil menggabungkan filsafat dan pemikiran Yunani dengan filasafat dan pemikiran Islam; al-Farabi menghasilkan karya tentang pemikiran politik berbasis ajaran dan paham Plato dan Aristoteles dipadukan dengan filosofi Islami; al-Biruni memperkenalkan teori jarak jauh dan dekat di antara sebuah planet dari fokusnya, dan menciptakan kompas; Umar Khayyam menghasilkan karya tentang astronomi; al-Khawarizmi memperkenalkan teori asal usul angka serta ilmu aljabar serta Ibnu Sina mengemukakan teori tentang pengobatan sakit saraf, sakit jiwa dan sirkulasi darah dalam tubuh manusia, serta telah berusaha menggabungkan filsafat dan teori ilmiah.
Jika ditelusur menurut biografi tokoh-tokoh tersebut akan didapati bahwa mereka menjadikan ilmu agama sebagai pijakan atau setidaknya pembangkit spirit keilmuannya. Mereka mendahulukan pendidikan keagamaan sebelum belajar filsafat dan ilmu lainnya sehingga Islam benar-benar menjadi pijakan balajar. Daulah Bani Abbasiyah yang akhirnya carut-marut bukanlah penghalang bagi para ulama untuk mendedikasikan umurnya dalam melanjutkan tradisi ilmu. Bahkan dalam suasana seperti itu bermunculan sejumlah cendekiawan. Misalnya al-Farabi yang lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.[20] Meski demikian kita masih mengenang karya-karya monumental al-Farabi hingga saat ini.
Prospek ilmu yang integratif di masa awal Islam dan terutama dalam golden age era nampaknya akan terulang dengan maraknya peradaban posmodernisme. Hal ini sangat menjanjikan terjadi karena menurut Lasch, posmodernisme menolak pemisahan antara agama dengan ekonomi, politik dan ilmu, karena salah satu ciri posmodernisme adalah dedifferentiation.[21] Pemutakhiran pendidikan nasional melalui kurikulum 2013 yang mengusung integrasi antar mata pelajaran patut kita apreasiasi sebagai itikad baik pemerintah untuk menjawab isu-isu integrasi ilmu sebagai jawaban atas tuntuntan peradaban posmodernisme.

DAFTAR PUSTAKA A.M. Saefuddin. 1995. Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.Abdul Halim El-Muhammady. 1991. Pendidikan Islam (Islamic Education). Universiti Pertanian Malaysia: Dewan Pustaka Islam. Adebayo, R. I. 2007. The Influence of the World Conferences on Muslim Education on Islamic Education in Nigeria. In Islamic Studies in Contemporary Nigeria, Problems & Prospects. Editor L.M. Adetona [http://www.unilorin.edu.ng/publications/adebayori/The%20Influence%20of%20wolrd%20conference.htm] diakses pada 1/10/2013 Ali Ashraf. 1989. Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar. (Jakarta: Pustaka Firdaus. Amin Abdullah. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam. Yogyakarta: SUKA Press. Armai Arief. 2005. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press. Azyumardi Azra. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Husni Rahim. 2000. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Ismail SM, et.al. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Isma’il Raji Al-Faruqi. 1984. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuddin. Bandung: Pustaka. KBBI Daring (edisi III) http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbb/ Kuntowijoyo. 2005. Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta: Teraju. -----------------. 2005. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta: Teraju. Lasch, Scott. 1990. Sociology of Postmodernism. New York: Routledge. Marwan Saridjo. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco. Tajul Ariffin Nordin. 1993. Pendidikan: Satu Pemikiran Semula. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wan Mohd Nor Wan Daud. 2005. Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Ma


[1] Adebayo, R. I., The Influence of the World Conferences on Muslim Education on Islamic Education in Nigeria. In Islamic Studies in Contemporary Nigeria, Problems & Prospects, editor: L.M. Adetona, 2007.
[http://www.unilorin.edu.ng/publications/adebayori/The%20Influence%20of%20wolrd%20conference.htm] diakses pada 1/10/2013[2] Abdul Halim El-Muhammady, Pendidikan Islam (Islamic Education), (Universiti Pertanian Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991), h. 12[3] Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 130.[4] Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 105[5] Tajul Ariffin Nordin, Pendidikan: Satu Pemikiran Semula. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993)[6] KBBI Daring (edisi III) http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbb/
[7] Ibid.[8] Isma’il Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 40-51.[9] Amin Abdullah, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam, (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), h. 4.[10] Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), h. 22[11] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 55[12] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), h. 201-216[13] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2005), h.52[14] Ikhrom, Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya Menangkap Sebab-sebab dan Penyelesaiannya, dalam buku Paradigma Pendidikan Islam  (ed.), Ismail SM, et.al., (Yogyakarta: Pustaka Pelahar, 2001). Lihat Armai Arief, Reformulasi…, h. 131.[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2005), h. 259.[16] A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1995), h.280[17] Imanuddin khalil, Pengantar Islamisasi ilmu Pengetahuan dan Sejarah. (Jakarta: Media Dakwah 1994), h.40[18] Rahimah, tt., Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi, (Sumatera Utara: Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara), h. 8[19] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Jakarta: Teraju, 2005), h. 67-69[20] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi[21] Lasch, Scott, Sociology of Postmodernism, (New York: Routledge, 1990), hal 11-15

Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment