Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh


Di Mesir, usaha pembaharuan Muhammad Abduh memang mengalami kegagalan terutama usahanya menghilangkan dikotomi pendidikan, dan Al-Azharpun kembali kepada keadaan semula, dengan kurikulum lamanya.[51] Meski demikian dengan reformasi yang telah dilakukan Muhammad Abduh, Fazlur Rahman menggelarnya dengan sebutan “Reformer Al-Azhar Terbesar”.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh memang gagal atau belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Ketersendatan pembaharuan yang abduh usung disebabkan adanya tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.[52] Meski demikian, gagasan modern Abduh telah memberikan pengaruh positif terhadap pendididkan Islam secara global.

Pendahuluan
Pembaharuan di dunia Islam umumnya berpangkal pada asumsi bahwa Islam sebagai realitas sosial (pada lingkungan/masyarakat tertentu) sudah tidak relevan lagi dengan dinamika/tuntunan zaman. Oleh karena itu pola pembaharuan itu mengambil bentuk yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Realitas sosial yang beragam mendorong kelahiran aneka model pembaruan yang beragam pula, yang biasanya ditipologikan dengan reformisme, modernisme, puritanisme, fundamentalisme atau sekuralisme.
Salah satu tokoh yang dianggap berhasil menjawab tuntutan pembaharuan adalah Muhammad Abduh. Abduh adalah seorang reformis Mesir yang berusaha mereformasi masyarakat muslim yang ketika itu jauh tertinggal dengan Barat. Dalam pemikirannya, Abduh cenderung menitikberatkan segala masalah pada akal. Karena itu, bagi Abduh pembaruan Islam tidak dapat dilakukan, jika sikap skeptis dan jumud masih melanda khususnya para ulama dan umumnya seluruh umat Islam. Menurut Abduh, sikap progresif dan dinamis para ulama, maupun setiap muslim, amat penting, meski sikap hati-hati tetap merupakan keharusan.
Kepercayaan Muhammad Abduh ialah bahwa agama dan pengetahuan tidak bertentangan antara satu sama lain, sehingga tidak mustahil akal dapat menerima kebenaran aturan-aturan agama. Prinsip Abduh ini tidaklah menunjukkan kurang penghargaannya terhadap kesucian wahyu Tuhan justru bagi Abduh agama diberikan Tuhan kepada manusia sebagai pedoman bagi akal yang sehat. Menurutnya, setelah kebenaran dalam agama terbukti, maka akal harus menelusur dan menerima pelajaran-pelajarannya. Gambaran ini diartikan Muhammad Abduh sebagai suatu kerja sama antara agama dan akal.[1]
Disamping dikenal sebagai pembaharu di bidang keagamaan dan pergerakan (politik), Abduh juga sebagai pembaharu di bidang pendidikan Islam, Ia pernah menjabat sebagai Dewan Pimpinan di Universitas Al-Azhar. Pada masa kepemimpinannya Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut dari sistem pengajaran hingga perbaikan sarana fisik, pola penggajian dsb. Meski ia gagal mencapai pembaharuan Al-Azhar sesuai harapannya namun ide reformasi pendidikan Islam yang ia usung telah membawa pengaruh yang sangat luas di dunia (pendidikan) Islam. Bahkan Fazlur Rahman menggelarinya dengan sebutan “Reformer Al-Azhar yang Terbesar”.
Identitas dan Riwayat Hidup Abduh
Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 di Desa Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir Provinsi Gharbiyyah.[2] Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari Bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab. Abduh kecil dan keluarganya tinggal dan menetap di Mahallah Nashr. Muhammad Abduh dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[3]
Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Muhammad Abduh berkata, ”saya tadinya mengira bahwa ayahku adalah manusia termualia di kampung saya. Lebih jauh, beliau saya anggap manusia yang termulia di dunia ini, karena ketika itu saya mengira bahwa dunia ini tiada lain kecuali kampung Muhallah Nashr.”[4]
Keluarga Abduh adalah keluarga yang cukup kritis terhadap pemerintahan. Kakek Muhammad Abduh adalah seorang penentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada Abdul Khairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara untuk  beberapa lama, sebelum ia menetap di Al-Garibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh.[5] Kelak Muhammad Abduh pun akan terlibat dalam upaya-upaya mengritisi pemerintah hingga gerakan pemberontakan sehingga ia dideportasi dari Mesir.
Keluarga Abduh juga memiliki kesadaran yang baik akan ilmu. Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al-Qur’an dari orang tuanya, kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih menghapal Al-Qur’an. Ia telah menghapal seluruh Al-Qur’an pada usia 12 tahun. Kemudian Ia dikirim ke Thantha untuk belajar agama di Masjid Syaikh Ahmad  pada tahun 1862. Disana Ia belajar Bahasa Arab, nahwu, sharf, fiqih dan sebagainya.[6] Namun ia jengkel dengan metode pengajaran yang diterapkan disana karena hanya mementingkan hapalan tanpa pengertian, bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu menghapal istilah-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallat Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.[7]
Empat puluh hari setelah menikah, ayahnya memaksa Abduh untuk kembali ke Thantha tetap dalam perjalanan ia tidak ke Thantha tetapi ke desa Kani Sahurin tempat tinggal Syaikh Darwisy Khadr yang telah belajar berbagai ilmu agama di Mesir. Syaikh Darwisy mendorong Muhammad Abduh untuk selalu membaca. Darwisy berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibacanya. Atas bantuan pamannya itu, ia akhirnya mengerti apa yang dibaca. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy.[8]
Mengenai pertemuannya dengan Darwisy, Abduh berkata, ”tidaklah berlalu lima hari dari masa pertemuanku (dengan Darwisy) itu, kecuali apa yang tadinya paling aku senangi seperti bermain, bercanda dan berbangga-bangga, telah berubah menjadi hal-hal yang paling aku benci.[9]
Berkat dorongan dari Syaikh Darwisy, Muhammad Abduh kemudian kembali ke Masjid Syaikh Ahmad namun kali ini pandangan serta minatnya untuk belajar telah jauh berbeda dibanding saat pertama ia ke tempat tersebut. Perubahan besar ini tentu berkat pengaruh cara dan paham sufi yang ditanamkan Darwisy kepadanya.[10]
Setelah belajar di Thantha Abduh kemudian melanjutkan belajar di Al-Azhar (Pebruari, 1866) dan nantinya bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani (1871). Namun lagi-lagi, pemikiran Abduh yang rasionalis-modernis mendorong rasa tidak puas dengan pelajarannya di Al-Azhar yang menurutnya tidak jauh beda dengan yang ia dapati di Thantha. Ia akhirnya mengambil inisiasi membuat revolusi dalam gaya belajarnya. Pelajaran yang diajarkan selama dua tahun, mampu ia pelajari dengan cara modern, konon hanya dalam hitungan hari.[11]
Ketidaknyamanan Abduh belajar di Al-Azhar digambarkan dalam kalimatnya, ”kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penilitian, perbandingan dan tarjih.[12] Kejumudan yang melanda Al-Azhar tersebut tentu tidak lepas dengan kondisi Kairo pada waktu itu yang sedang berkembang perhatian terhadap kebudayaan kuno atau klasik yang menimbulkan suatu gerakan tarikat, menjalankan latihan-latihan serta banyak sekali menjauhkan diri dari kesibukan masyarakat. Para cendikiawan tidak lagi mengeluarkan karya-karya segar melainkan sebatas komentar atau pemberian catatan-catatan terhadap karya yang sudah ada disebabkan ketidakdinamisan wacana keilmuan.
Konon, kondisi Al-Azhar ketika itu menganggap segala berlawanan dengan kebiasaan (bid’ah) merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku ’ilmu fardhu kifayah’ seperti geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah kontradiktif dengan Eropa yang kehidupan masyarakatnya sangat mendewakan akal. Tentu saja keadaan Al-Azhar tidak benar-benar serba suram. Di perguruan tersebut Abduh sempat pula berkenalan dengan ulama-ulama yang ia kagumi seperti Syaikh Hasan Al-Thawil yang ’nekat’ mengajarkan filsafat Ibnu Sina dan Aristoteles, serta Al-Basyuni yang ahli dalam sastra.
Menurut Abduh, keterbelakangan Al-Azhar dan umat Islam tidak lepas dari paham tertutupnya pintu ijtihad yang menggiring umat malas berpikir. Dengan pola pikir Abduh yang menekankan kekuatan akal maka banyak orang mengatakan bahwa Abduh adalah seorang rasionalis Islam berpaham Mu’tazilah. Salah satu contohnya indikasi ke-mu’tazilahan Abduh tertuang dalam pemikiran rasionalnya kepada prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an dan hadis untuk menghadapi zaman dan meninggalkan taklid kepada hasil ijtihad ulama’ salaf.[13] Di dalam beberapa fatwanya ia juga menta’wilkan hukum-hukum fikih menggunakan standar peradapan Barat yang ia anggap lebih maju. Namun perlu digarisbawahi bahwa Abduh  sama sekali tidak hendak menelan mentah peradaban Barat. Dalam kekagumannya ia sepenuhnya menyadari bahwa peradaban Barat mengandung sisi negatif. Selain itu pengadopsian total sama halnya dengan taklid yang ia benci.
Bagi Muhamamd Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[14] Inilah tanda-tanda lain yang membuat sebagian orang menyebut Abduh adalah penganut Mu’tazilah-Qadariyah. Bahkan dari begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.[15] Tentu saja pandangan ini terlalu berlebihan dan ganjil.
Kesimpulan Harun Nasution yang bertahan selama puluhan tahun, bahwa teologi Abduh bercorak Mu’tazilah, menurut Adian Husaini dipatahkan oleh Eka Putra melalui penelitian yang serius terhadap Kitab Hasyiah karya Muhammad Abduh. Hasilnya, ternyata Muhammad Abduh bukanlah penganut Mu’tazilah–sebagaimana diklaim Harun Nasution selama ini—tetapi justru merupakan tokoh pelanjut paham Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Kitab Hasyiah, menurut Eka, justru mengkritik secara tajam aliran Mu’tazilah. Bahkan, dikatakan Abduh, Mu’tazilah adalah golongan yang “al-mahjubun” (terhalang dari kebenaran). Kitab ini mengangkat pemahaman Ahlus Sunnah wal-Jamaah yang dikemas dengan rasionalitas yang tinggi.[16]
Abduh yang rasionalis tentu merasa tidak nyaman dengan Al-Azhar yang kala itu diselimuti kejumudan. Namun, keterbelakangan Pendidikan Al-Azhar tidak lantas memadamkan semangat Abduh karena setelah ia memperoleh pendidikan agama secara tradisional dari Al-Azhar, kemudian mendapat sentuhan modernis berkat hubungan dengan Jamaluddin Al-Afghani. Mereka berdua bertemu pada tahun 1871. Dari Jamaluddin ia belajar filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti dan pendalaman ilmu pengetahuan lain yang telah diperoleh di Al-Azhar. Al-Afghani lah yang kemudian menjadi gurunya dan pembimbingnya dalam melakukan pembaharuan pemikiran Islam.
Abduh mendapat pembelajaran dengan metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara diskusi bersama Al-Afghani. Metode itulah tampaknya yang diterapkan Abduh setelah ia jadi pendidik. Selain pengetahuan teoritis Al-Afghani juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel dan sebagainya. Al-Afghani membawanya tampil di depan publik, juga secara langsung melihat situasi sosial politik negaranya.[17]  Dan hanya dalam dua tahun pertemuannya dengan Al-Afghani, Abduh (26 tahun) yang masih berstatus mahasiswa telah menjadi penulis tentang tasawuf, filsafat dan kalam serta mengisi kolom-kolom surat kabar.
Dalam proses studinya, walaupun awalnya ia benci ilmu pengetahuan, karena kekecewaannya pada praktik pendidikan yang pernah ia alami, ternyata ia sangat jenius. Meski pemikirannya banyak dikritik namun Syaikhul Azhar, Al-Mahdi Al-Abbasi, menyatakan Abduh lulus dengan predikat tertinggi Al-‘alamiyyah, cum laude. Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar itu dalam usia 28 tahun. Di tahun yang sama ia diminta untuk menjadi dosen. Di Al-Azhar Ia mengajar logika, teologi dan filsafat, etika dan sejarah. Untuk etika dipilihnya buku Tahzib Al-Akhlaq (pembinaan akhlak) karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Eropa karangan F. Guizot untuk pelajaran sejarah. Ia diangkat pula sebagai pengajar di Darul ’Ulum dan Madrasah Al-Idarah Wal-Aslun.
Dalam mengajar Abduh menekankan kepada mahasiswanya untuk berpikiran kritis dan rasional dan tidak harus terikat kepada suatu pendapat,[18] dan menjauhi paham fatalisme (jabariyah) karena paham ini harus dirubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, inilah yang akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali.[19] Dari hal ini tampak jelas pengaruh Al-Afghani dalam diri Abduh.
Di Al-Azhar, Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan hal-hal baru yang segar pada perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan kesusastraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang hidup dan kaya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Tidak itu saja ia mengkritik politik pemerintah pada umumnya, terutama sekali politik pengajarannya yang menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai ruh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajah asing.[20]
Pada tahun 1882, meletuslah revolusi Al-‘Urabi pimpinan Ahmad Al-Urabi Pasha. Revolusi itu berusaha untuk menumbangkan pemerintah yang terlalu sering menuruti permintaan penjajah Inggris. Namun pemberontakan itu menemui kegagalan. Muhammad Abduh yang memang kritis terhadap pemerintah dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. Karena itu dia diasingkan ke luar negeri. Beberapa waktu setelah dibuang oleh Pemerintah Inggris, tepatnya tahun 1884, Abduh menyusul Al-Afghani di Paris. Kemudian ia bersama Al-Afghani menerbitkan majalah yang Al-Urwatul Wutsqa yang mengusung cita-cita Pan-Isamisme.[21]
Tahun 1889 dia kembali ke Mesir untuk menduduki jabatan-jabatan penting di bidang keagamaan, termasuk jabatan Mufti Mesir hingga Syaikh Al-Azhar, namun ia masih dihalang-halangi untuk terjun ke dunia pendidikan. Apapun posisinya, Abduh senantiasa berusaha mewujudkan kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaharuan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam. Hal tersebut mendorongnya untuk mengkaji kembali masalah-masalah keagamaan dan menuliskannya, sehingga karenanya terangkatlah namanya sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam itu.[22]
Pemikiran Muhammad Abduh secara Umum
Muhammad Abduh memiliki kecenderungan terhadap modernisasi Islam yang cenderung liberal, khususnya dari penafsirannya terhadap sebagian ayat Al-Qur’an, dan dari sebagian fatwanya.[23] Abduh memiliki kecenderungan besar untuk menafsirkan Al-Qur’an menggunakan ilmu pengetahuan Barat yang populer pada masa itu.[24] Di dalam beberapa fatwanya, terdapat suatu usaha untuk menta’wilkan hukum-hukum fikih menggunakan standar peradapan Barat, bahkan membolehkan menerima peradapan Barat, tentu saja disertai penyesuaian dengan struktur sosial masyarakat Islam. Dalam hal ini Abduh berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.
Adapun pokok–pokok pemikiran Muhammad Abduh di bidang sosial keagamaan adalah,
1)  Ø§Ù„اسلام محجوب بالمسلمين
2)  Ø§Ù„دين هو العقل لا دين لمن لا عقل له
3) Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula ilmu Pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.[25] Pemikiran ini tampak seperti pemikiran Ibnu Taimiyah,
 Ù„ا تعارض بين صحيح المنقول Ùˆ صريح المعقول
Dalam karya teologisnya yang monumental, Risalah At-Tauhid, Muhammad Abduh menyelaraskan antara akal dan agama. Ia berpandangan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dengan perantara lisan Nabi diutus oleh Tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.[26] Pemikiran ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran Ibnu Taimiyah yang juga meyakini keselarasan dalil dengan akal.
Corak pemikiran Abduh dapat pula ditelusur dari Tafsir Al-Manar. Menurut Quraisy Syihab[27], ada dua pemikiran pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh terutama yang terlihat dalam Al-Manar, yaitu:
1. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits.
Abduh berasumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[28] Karena itu Islam tidak akan dipahami jika umat hanya taklid kepada pendahulunya tanpa mengerti kerangka nalar yang ada di dalamnya.
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Abduh dikenal pula sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[29]
Dalam usahanya mendekati Al-Qur’an secara rasional-kontekstual, Muhammad Abduh terkadang menyalahi makna lahiriyah ayat, yang terkadang berdalih tamsil; terkadang dia menolak sunnah yang shahih, dia berdalih karena bertentangan dengan—yang dia anggap—ilmu pengetahuan modern; kemudian dia menggunakan metode kesejarahan untuk menggungat hukum-hukum syari’ah lalu mengaitkannya dengan kondisi sementara masa kini. [30] Meskipun pada Muhammad Abduh kecenderungan semacam ini bersifat lemah, namun memberi pengaruh cukup kuat pada murid-muridnya, bahkan menjadi besar dan berdampak global.
Salah satu contoh pemikirannya yang memenangkan rasio adalah kritiknya terhadap poligami. Legalitas yang diberikan syari’ah untuk beristri lebih dari satu ditafsirkan dengan mengenyampingkan syarat-syarat bagi terbukanya izin tersebut. Poligamipun menjadi sumber kemelaratan wanita dan anak-anak. Perkawinan seakan menjadi sebuah institusi yang mengikat mereka dalam derita dan kesengsaraan.[31] Pemikiran Abduh yang bercorak adabi ijtima’i (budaya kemasyarakatan) menggiring penafsirannya tentang dalil-dalil ke arah yang sedikit pragmatis, agar ayat benar-benar siap pakai, terhubung langsung dengan realitas sosial dan mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.
Rencana perjuangan Muhammad Abduh dalam pembaruan Islam yang dapat pula diketahui orang dari uraian-uraiannya sendiri dapat kita simpulkan kepada tiga pokok dasar:
1. Menyusun agama Islam kembali kepada bentuk asli,
2. Memperbaruhi bahasa Arab, Sebagai seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio sebagai ganti metode verbalisme (menghapal). Sering pula mengajarkan Bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana.[32] Selain itu, Bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa baku tanpa perkembangan, oleh Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab, terutama isltilah-istilah baru muncul yang mungkin tidak ditemukan pada kosa kata bahasa arab.[33]
3. Menuntut pengakuan hak-hak rakyat terhadap pemerintah.[34]
Dalam masalah takdir dan kehendak manusia, Abduh berasumsi bahwa perbuatan manusia adalah ikhtiar manusia dengan tujuan menentukan hasil, walaupun yang menjadi hasil tarkadang bukan merupakan kehendak manusia. Inilah takdir, kekuasaan Allah dalam menentukan segalanya melalui hukum kausalitas. Dengan anugerah-Nya berupa akal, manusia bisa menentukan kebebasannya dalam memilih. Diatas ketentuan “takdir” dan “ikhtiar” inilah berjalan syari’at (agama) dan diatas ketentuan itu pula berdirinya taklif-taklif (perintah-perintah) Tuhan. Siapa yang berani mengingkari salah satu diantaranya, nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya; akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk memikirkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.[35]
Dalam pemikiran yang tampak jelas sentuhan paham liberal dan free will thinking, Muhammad Abduh pada dasarnya bermaksud mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami Al-Qur’an. Abduh adalah tokoh yang diakui sebagai pembela Islam sehingga upayanya dalam memperbarui interpretasi ajaran Islam bukanlah untuk meragukan agama ini melainkan untuk menunjukkan kemuliaannya yang dihijab sendiri oleh muslimin. Hal ini tentu berbeda dengan penafsiran Islam liberal yang ada saat ini, yang pandai beretorika membolak-balik dalil namun sepi dalam amal.
Dalam pandangan Abduh jika suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah, begitulah seharusnya syariah ditegakkan. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini.
Dari sekian banyak gagasan yang dilontarkan Abduh, Gibb dalam salah satu karya terkenalnya, Modern Trends In Islam, menyebutkan empat agenda pembaruan Muhammad Abduh sebagai pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran yang tidak benar[36], yaitu:
1.      Purifikasi
Dalam pandangan Muhmmad Abduh, seorang muslim diwajibkan mengindarkan diri dari perbuatan dari perbuatan Syirik. Kaum muslim juga tak perlu mempercayai adanyah karamah yang dimiliki para wali atau kemampuan mereka sebagai perantara (washilah) kepada Allah.[37]
2.      Reformasi
Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik yang dogmatis melainkan juga terletak pada mempelajari sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.[38] Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat dihidupkan kembali.[39]
Dalam perspektif yang lebih luas corak reformis Muhammad Abduh menjadikannya senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat bertahan dan terus diterima, ia harus dibangun kembali bukan dihapuskan. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Demikian halnya dengan budaya Islam klasik, ia tidak  harus dihapuskan namun juga tidak diterapkan tanpa melihat konteks masyarakat, namun ia berada digaris tengah antara menjaga kemurnian dan penyesuaian dengan keadaan.[40]
3.      Reformulasi
Muhammad Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya.[41] Manusia tercipta dalam keadaan dalam keadaan tidak terkekang, dan seharusnya tidak dikekang oleh kejumudan.[42] Karena paham jumud inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan, statis dan sekedar mengikuti tradisi yang hidup di masyarakat.


4.      Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Tauhidnya memperlihatkan hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing dari Islam, hal merupakan bukti bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran illahi yang dipelajari melalui agama. Muslim yang berislam dengan baik adalah ‘pembela’ Islam yang paling kokoh.
Hal ini menunjukkan bahwa selain seorang reformis Abduh juga berpaham konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[43] Oleh karena itu Abduh juga berupaya menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah ummatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar–tentu dengan syarat utama—disesuaikan dengan kondisi yang ada.[44]
Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan
Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatarbelakangi oleh faktor empiris, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang statis, taklid, bid’ah dan khufarat. Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa penyakit tersebut, antara lain, berpangkal dari ketidaktahuan umat Islam pada ajaran sebenarnya, karena mereka mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat. Karena itu reformasi pendidikan tinggi merupakan agenda yang wajib dijalankan agar umat memiliki pengetahuan yang baik dan benar tentang Islam.
Walaupun yang menjadi dorongan dalam perjuangan ialah pelajaran dan pengalaman yang diperolehnya dalam pergaulan dengan Barat, tetapi dasar-dasar pelajarannya terhadap Islam terutama diperolehnya dari pelajaran-pelajaran Ibnu Taimiyah (meninggal 1328 M) dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292-1350) dalam memecahkan soal-soal hukum agama yang bersifat membangun secara perahan-lahan dan dari pelajaran Al Ghazali mengenai perbaikan akhlak. Pelajaran ini berdasarkan keyakinan, bahwa kebesaran agama Islam yang murni itu tidak dapat diombang-ambingkan oleh perubahan dan pergolakan zaman. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dalam perjuangan pembangunan Islam ialah menghilangkan kebiasaan–kebiasaan yang salah yang mencemarkan agama dan yang menyebabkan agama tidak sesuai dengan keadaan zaman. Pendek kata akan mengembalikan agama Islam kepada bentuk asli serta menyesuaikannya dengan kemajuan yang sejati.[45]
Untuk mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan kemajuan Al-Azhar, Muhammad Abduh berusaha mencari dukungan ulama-ulama Al-Azhar dan tokoh-tokoh lain untuk merestui rencananya itu, namun dia gagal.[46] Masa setelah kembali dari pengasingan ia memang dihalangi penguasa untuk masuk di dunia pendidikan agar tidak menyebarluaskan pemikiran kritisnya di kalangan terdidik. Namun ketika Abbas Hilmi berkuasa, dia mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah panitia yang mengatur Al-Azhar. Dalam kepanitiaan itu Muhammad Abduh mewakili pemerintah dan menjadi pemrakarsanya.[47] Kesempatan ini digunakan Muhammad Abduh dengan sebaik-baiknya untuk mereformasi kondisi Al-Azhar, usahanya ini didukung oleh Syaikh An-Nawawi yang merupakan teman akrabnya.[48]
Adapun pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan Al-Azhar adalah[49]:
2. Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosen-dosen dan mahasiswanya.
3. Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar (Idarah Al-Azhar).
4. Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
5. Mengangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh Al-Azhar.
6. Meengatur hari libur, dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebih panjang.
7. Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah Al-Hawasyi diusahakan dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
8. Menambahkan mata pelajaran berhitung, Aljabar, Sejarah Islam, Bahasa dan Sastra dan Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum Al-Azhar.
Selain di Al-Azhar, ketika ia diasingkan ke Beirut ia sempat menaruh perhatian untuk perbaikan negara tersebut. Ia mengajukan dua usul untuk perbaikan pendidikan agama di madrasah-madrasah kerajaan Ustmaniyah, dalam usulannya Muhammad Abduh melihat kelemahan umat Islam disebabkan karena buruknya aqidah dan bodohnya akar-akar agama, itulah yang merusak  akhlak mereka. Obat satu-satunya adalah memperbaiki pendidikan agama. Kemudian yang ke dua yang diajukan kepada gubernur Beirut, Muhammad Abduh menggambarkan buruknya keadaan negeri itu, dan pertentangan politik yang ada di negeri itu akibat banyaknya sekolah-sekolah asing. Abduh menganjurkan memperbanyak madrasah nasional dan memperbaiki kurikulum pendidikan agama.[50]



DAFTAR PUSTAKAA. Mukti Ali. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: DjambatanAdian Husaini. Temuan Penting Dr. Eka Putra tentang Harun Nasution. Hidayatullah 27 Maret 2013Ahmad Amir Aziz. 2009. Pembaharuan Teologi Perspertif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman. Yogyakarta: TerasAhmad Fuad Al-Ahwani. 1966. Al-Falsafat Al-Islamiyyat. Kairo: Dar Al-QalamArbiyah Lubis. Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang
Asnil Aida Ritonga. 2008. Pendidikan Islam dalam Buaian Arus Sejarah. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Busthami Muhammad Sa’id. 1995. Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin. Wacana Lazuardi AmanahHarun Nasution. 2000. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: MizanHusayn Ahmad Amin. 2001. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja RosdakaryaImam Munawwir. 2006. Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam. Surabaya: PT Bina IlmuIshaq Musa’ad dan Kenneth Cragg. 1966. The Theology of Unity. London: George Allen & UnwinM. Quraish Shihab. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha. Bandung: Pustaka HidayahM. Rasyid Ridha. 1931. Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, juz I. Mesir: Percetakan Al-Manar
Nurchalish Madjid. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan Pustaka
Rosihan Anwar. 2001. Samudera Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka SetiaRusni. 1994. Kemuhammadiyahan. Surakarta: Majlis Dikdasmen Pimpinan Muhammadiyah Kota Surakarta
Samsul Nizar. 2009. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana
Sir H. A. R. Gibb. 1972. Modern Trends In Islam. Octagon BooksSyekh Muhammad Abduh. 1975. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan BintangTim Penyusun. 2001. Ensiklopedi Islam Jilid 1. Jakarta: Ikhtiar Baru Van HoeveToto Suharto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz

[1]  Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), h. 486
[2]  Ahmad Amir Aziz, Pembaharuan Teologi Perspertif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 09.
[3]  Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) h. 58
[4] M. Rasyid Ridha, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh, juz I, (Percetakan Al-Manar: Mesir, 1931), h.14
[5]  Asnil Aida Ritonga, Pendidikan Islam dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 124
[6]  Harun Nasution, Pembaharuan dalam..., h. 59
[7]  Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) h .240
[8]  Asnil Aida Ritonga, Pendidikan Islam, h. 125
[9] M. Rasyid Ridha, Tarikh Al-Ustadz…, h. 14
[10] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 13
[11] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), h.476
[12] M. Quraish shihab, Studi Kritis…, h. 13
[13] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, cet.VI (Bandung: Mizan, 2000), h.150.
[14] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, (UI Press, 1978), h. 65
[15] Ibid, h. 57
[16] Adian Husaini, Temuan Penting Dr. Eka Putra tentang Harun Nasution. Hidayatullah 27 Maret 2013
[17] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Al-Falsafat Al-Islamiyyat (Kairo: Dar Al-Qalam, 1966), h.23
[18] Ensiklopedi Islam Jilid 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001), 256
[19] Harun Nasution, Pembaharuan dalam…, h. 66
[20] Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h 18
[21] M. Quraish Shihab, Studi Kritis…, h. 15
[22] Ishaq Musa’ad dan Kenneth Cragg, The Theology of Unity, (London : George Allen & Unwin, 1966), h. 103-104
[23] Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama antara Modernisme dan Tajdiduddin (Wacana Lazuardi Amanah, 1995), h. 155
[24] Ibid., 155
[25] Rusni, Kemuhammadiyahan, (Surakarta: Majlis Dikdasmen Pimpinan Muhammadiyah Kota Surakarta, 1994), h.22
[26] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) Hal. 152
[27] Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsir… h. 19
[28] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 260.
[29] Ibid., h. 260.
[30] Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan…, h. 157
[31] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, ( Jakarta: Djambatan, 1995), h. 323
[32] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammdiyah…., h. 157
[33]  Abdul sani. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada), 1998 h. 54
[34] Imam Munawwir, Mengenal 30 Pendekar dan Pemikir Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), h.484
[35] Syekh Muhammad Abduh, Risalah tauhid, cet.VIII (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h.48
[36] Sir H. A. R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Octagon Books, 1972), h. 33
[37] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan I (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h.265
[38] A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 365
[39] Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008) h.311
[40] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan…, h. 265
[41] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 246
[42] Harun Nasution, Pembaharuan dalam…, h. 62
[43] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan…,h. 266
[44] Muhammad al Bahiy. Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 84
[45] Imam Munawwir, Mengenal 30…, h.485
[46] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h 301
[47] Ibid., h. 301
[48] Ensiklopedi Islam Jilid 1, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 204
[49] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh…, h.301-302
[50] Mukti Ali, Alam Pikiran…, hal. 463
[51] Ibid., h. 302
[52] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan, h.104
Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment