Memahami ASBABUN NUZUL Dalam Ilmu Islam



Pendahuluan
Perhatian ulama akan ilmu ini sangatlah penting, diantaranya adalah guru Imam Bukhari (Ali bin Madani), al-Wahidi  dan al-Jabari (meringkas bukunya al-Wahidi).
Pedoman mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat ṡahih yang berasal-dari Rasulullah saw. atau dari ṡahabat. Muhammad Sirin mengatakan, "Ketika kutanyakan kepada Ubaidah mengenai satu ayat AlAlquran, dijawabnya: Bertakwalah kepada Allah dan berkata benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Alquran itu diturunkan telah meninggal". Jawaban tersebut menandakan kehati-hatian beliau dalam mengambil riwayat yang ṡahih. Imam syuyuthi menyatakan bahwa selain dari kalangan ṡahabat boleh pula ucapan Tabiin yang menerangkan asbabun nuzul diterima bila ucapan itu jelas. Dan ia mempunyai kedudukan mursal-bila penyandaran kepada tabiin itu benar dan dari seorang Mufassir yang mengambil dari para shahabat, serta didukung oleh hadis mursal-lainnya.

Definisi
Definisi asbabun nuzul adalah berkisar pada dua hal-yaitu:
1.    Bila terjadi pada suatu peristiwa maka turunlah ayat Alquran mengenai peristiwa itu hal-seperti ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, bahwa ketika turun ayat 214: Rasulullah pergi naik ke bukit shafa lalu berseru tentang Islam.
2.    Bila Rasulullah ditanya sesuatu hal-maka turunlah ayat Alquran menerangkan hukum menerangkan hukumnya. Sebagaimana Khaulah binti Tsa'labah dikenakan Zihar oleh suaminya, Aus bin Shamit.
Diantara ayat AlAlquran yang diturunkan sebagai permulaan tanpa adanya asbabun nuzul meliputi akidah-iman, kewajiban Islam, dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Ja'bari berkata, "AlAlquran diturunkan dalam dua katagori: turun tanpa sebab dan turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan".

Manfaat ilmu asbabun nuzul
Manfaat mengetahui Asbabun Nuzul adalah:
1.    Mengetahui hikmah dari suatu hukum dan perhatian syara'.
2.    Mengkhususkan dan membatasi hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum.
3.    Apabila yang diturunkan itu lafaz umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul itu membatasi penghususan hanya terhadap yang selain bentuk sebab.
4.    Cara terbaik untuk memahami makna Alquran dan mengungkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak ditafsiri tanpa mengetahui asbabun nuzul.
5.    Dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisian.
العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب
 yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab umum (makro), atau sesuai dengan sebab khusus (mikro) maka yang umum diterapkan pada keumuman dan yang khusus pada ke khususannya. Sebagian besar ulama berpegang pada kaidah “al-‘ibratu bi ‘umumil lafzh la bikhususin asbab” (yang menjadi pegangan adalah keumuman lafaẓ bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al-‘ibratu bikhususus sabab la bi ‘umumil lafzh (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan suatu hukum, yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu, sedangkan teksnya bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas pada kasus tersebut, tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Inilah maksud kaidah “yang menjadi pegangan adalah keumuman lafaẓ bukan pada kekhususan sebab”.
Dalam memahami kaidah di atas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa asbabun nuzul pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang menampilkan contoh untuk menjelaskan makna redaksi ayat Al-Qur’an. Sedangkan redaksi yang bersifat umum itu ruang lingkupnya tidak terbatas pada kasus khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi ṡalih li kulli zaman wa makan.
Pendapat kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai dengan umumnya hukum-hukum syariat dan telah diberlakukan oleh para ṡahabat dan imam mujtahid. Adapun penganut kaidah “kekhususan sebab bukan keumuman lafaẓ” lebih menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul) itu, jika qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.
Contoh, QS. Al-Baqarah: 222, anas berkata:" Bila istri-istri orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan didalam rumah tidak boleh bersama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal-itu maka Allah menurunkan ayat, “mereka bertanya kepadamu tentang haid…”
Contoh kedua: Al-Lail: 17-21, diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata Atqa adalah dari ismun tafdil artinya superlatif, maka bila tafdil itu disertai Al-'Adiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasuki itu telah diketahui maksudnya), sehingga ini dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat ini diturunkan. Kata sandang "Al" menunjukan umum bila ia berfungsi sebagai kata sambung (maushul) atau ma'rifatkan kata jamak. Sedangkan Al-Atqa pada bukan kata ganti penghubung/kata jamak, melainkan tunggal. Sehingga menurut Al-Wahidi yang dimaksud Al-Atqa adalah Abu Bakar menurut pendapat para ahli tafsir. Abu Bakar memerdekan 7 orang budak yakni Bilal, Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Ummu 'isa, dan budak perempuan Bani Mau'il.
Zarkasy melanjutkan bahwa pengetahuan mengenai asbabun nuzul, diantara faidah lainnya ialah membantu penafsir untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya dimaksud dalam ayat; misalnya menurut Syafi’i apa yang dimaksud dalam firman Allah, katakanlah: tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan...; berkaitan dengan ini sesungguhnya ketika orang-orang kafir mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, mereka melakukannya karena tujuan tertentu yakni menentang Allah. Maka ketika Allah berfirman, tidak ada yang halal-kecuali apa yang kamu haramkan, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang kamu halakan, pernyataan ini sesungguhnya meninggikan kedudukan Allah dan menurukan kedudukan orang-orang kafir; sama halnya jika ada yang berkata, hari ini kamu jangan makan yang manis-manis, kemudian kamu berkata, hari ini saya tidak makan kecuali yang manis-manis; maka tujuan penentangan dalam kalimat tersebut bukan untuk menetapkan sesuatu yang sebenarnya bahwa selain yang manis adalah haram; maka melaui ayat tersebut seakan-akan Allah berkata, tidak ada yang haram kecuali apa yang kamu halalkan dari bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih dengan nama selain Allah, dengan tidak bermaksud menghalalkan yang setelahnya, karena yang dimaksud adalah penetapan keharaman, bukan penetapan kehalalan.
Sebagian ulama berkata ini adalah puncak penjelasan yang sangat baik, seandainya Imam Syafi’i tidak mendahului penjelasan itu tentu ulama tidak membolehkan untuk membantah Imam Malik dalam batas hal-hal-yang diharamkan dalam ayat tersebut.
Contoh lainnya ialah Firman Allah swt,“Tidaklah ada bagi orang-orang yang beriman dan beramal-ṡalih, dosa atas apa yang telah mereka makan”
Kemudian diceritakan dari Uṡman bin Maż’un dan Umar bin Ma’dikariba, keduanya berkata bahwa Arak itu hukumnya mubah dengan menggunakan dalil ayat ini. Namun sesungguhnya belum jelas bagi kedua orang tersebut mengenai sebab turunnya ayat ini sehingga menimbulkan salah pemahaman. Padahal-sebab turunnya ayat itu adalah ketika turun ayat tentang keharaman khamr, para ṡahabat bertanya tentang bagaimana dengan nasib teman-teman kita yang telah mati sementara khamr telah masuk ke dalam perutnya. Dan Allah telah menegaskan bahwa khamr adalah kotoran! kemudian Allah menurunkan ayat “Tidaklah ada bagi orang-orang yang beriman dan beramal-sholih, dosa atas apa yang telah mereka makan”. Zarkasy menyebutkan beberapa ayat lain yang pada intinya menunjukkan urgensi ilmu asbabun nuzul dalam kajian tafsir.

Redaksi Asbabun Nuzul
       Terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, jika perawi mengatakan: "Sebab turunnya ayat ini adalah begini", mengunakan fa' ta'qibiyah ( kira-kira "maka". Yang menujukkan urutan peristiwa yang dirangkai dengan kata "turunlah ayat". Seperti sabda Rasulullah: "Rasulullah ditanya tentang hal-begini maka turunlah ayat ini”
سئل رسول الله عن كذا قنزلت الاية
·         Terkadang berupa pernyataan tegas.
·         Terkadang berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.
Ayat yang turun secara berulang-ulang
Sesungguhnya sebagian dari AlAlquran diturunkan lebih dari sekali, menurut Zarkasy hal-tersebut adalah bentuk pengagungan dan agar manusia tidak melupakan sejarah. Sebagaimana yang tertulis di dalam ṡahihain dari Utsman An-Nuhadi dari Ibnu Mas’ud, bahwa ada seorang laki-laki telah mencium seorang perempuan, maka datanglah ia kepada Nabi dan menceritakan kejadian tersebut maka Allah swt. Menurunkan (kembali) ayat,
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (١١٤)
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”
Maka berkatalah seorang laki-laki itu, “wahai Rasulullah, Apakah ini hanya untukku?” Rasulullah SAW menjawab, “tidak, tetapi untuk seluruh umatku.” Kejadian ini turun di Madinah dan laki-laki tersebut juga disebutkan oleh Imam Tirmidzi dan imam-imam yang lain bahwa nama laki-laki tersebut adalah Abul Yasr. Namun jumhur ulama sepakat bahwasanya Q.S. Huud itu turun di Makkah (bersifat makiyyah). Menurut Zarkasy tidak ada perselisihan bahwa ayat tersebut telah diturunkan lagi setelah sebelumnya diturunkan di tempat dan waktu yang berbeda. Zarkasy dalam al-Burhan menagaskan hal-ini dengan menampilkan beberapa contoh serupa.
Ketika diantara ṡahabat mengatakan, “ayat ini turun menjelaskan masalah ini” maka yang dimaksudkan adalah ayat itu menjelaskan hukum masalah tersebut, bukan masalah itu yang menjadi sebab turunnya ayat yang dimaksud. Sekelompok muhaditsin menjadikan keterangan ini sebagai keterangan yang lebih utama sebagimana pendapat Ibn Umar tentang surat Al-Baqarah ayat 223. Adapun Imam Ahmad,  Imam Muslim  dan lainnya tidak sependapat dengan hal-ini karena mereka menganggapnya sebagai istidlal-dan ta’wil  dari ayat yang turun.

Khususnya sebab dan umumnya bentuk ucapan (ṡigat)
Terkadang sebab berupa masalah yang khusus sedangkan sigat menggunakan lafaż yang umum. Imam Zamakhsyari ketika mengomentari surat al-Humazah ia mengatakan bahwa “boleh saja sebab berupa masalah yang khusus sedangkan ancaman bersifat umum, agar ayat tersebut mampu mengcover  setiap orang yang melakukan perbuatan keji serta mampu mengungkap masalah yang terjadi, dan hal-inilah yang lebih dianjurkan.

Faidah
Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-Adabul Mufrad, dalam bab berbuat baik kepada kedua orangtua. Dari Sa’ad bin Abi Waqaṡ ra. Berkata, “Allah telah menurunkan 4 peristiwa/hal-di dalam kitab (Alquran). Pertama, Sesungguhnya ibuku telah bersumpah untuk tidak makan dan tidak minum, sampai aku terpisah dengan Muhammad saw. kemudian Allah berfirman dalam surat Luqman: 15 yang artinya, ”dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”

Ke dua, ketika saya benar-benar mengambil pedang (dalam ganimah), kemudian saya berkata, “Ya Rasulullah, ini urusanku?” Dan turunlah surat Al-Anfal: 1 yang artinya “mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang…” Ke tiga, ketika saya sakit, Rasulullah saw. datang kepadaku, lalu saya berkata, “ya Rasulallah saya ingin membagi hartaku, apakah saya berwasiat dengan setengah dari hartaku?” Rasul saw. bersabda, “tidak,” kemudian saya berkata, “sepertiga?” Lalu Rasulullah saw. diam; maka setelah itu berwasiat sebanyak sepertiga diperbolehkan. Ke empat, saya minum khamr bersama kaum anṡar, lalu salah satu dari mereka memukul hidungku dengan rahang onta, kemudian saya datang kepada Rasulullah saw, kemudian Allah menurunkan ayat-ayat tentang haramnya khamr.


Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment