Mengenal Muqaddamah Nizam Alquran ‘Hamid al-Dīn Farahi’



Alquran sebagai pedoman hidup merupakan satu kesatuan, saling berkait antar bagiannya dan saling menafsirkan. Oleh Karena itu ia pun harus dipahami dan dipatuhi secara utuh dan komperhensif bukannya sepenggal-sepenggal atau sebagian-sebagian. Dan sungguh hancurnya umat terdahulu itu dikarenakan mereka mengambil sebagian ajaran kitab suci mereka dan –namun- menolak sebagiannya yang lain.


Dalam karya ini Farahi berniat untuk menulis penjelasan yang sederhana dan komentar tentang Alquran yang bebas dari perbedaan-perbedaan yang telah muncul di kalangan umat Islam setelah Nabi. Ia berusaha mengklarifikasi setiap ayat dalam Kitab dan berusaha menentukan koherensi ayat-ayat Alquran melalui analisis yang cermat terhadap nash yang dengan bukti-bukti rasional dan faktual .

Koherensi Alquran
Farahi bukan orang pertama yang mencoba untuk mengungkap koherensi Qur'an. Banyak ulama di masa lalu telah mengarahkan perhatian mereka pada hal ini dan beberapa bahkan telah mendokumentasikan temuan mereka. Contohnya, Suyūtï, menyebutkan dalam risalahnya al-Itqan. Murabbi’ Abu Hayyān, 'Allamah Abu Ja'far Ibnu Zubair, menyusun buku berjudul al-Burhan fi al-Suwar Munāsabat Alquran yang secara eksklusif berkaitan dengan hal ini. Salah satu yang semasa dengan Farahi, Sheikh Burhan al-Din Baqā'ī juga secara khusus membahas koherensi dalam Alquran dalam tafsirnya Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Ayi wa al-Suwar.
Farahi juga mengacu pada salah satu karya Suyūti, yang menurutnya, membahas koherensi dalam ayat-ayat dan surat dan aspek lain dari i'jāzul Qur'an. Suyūti dalam kitab tersebut menyatakan bahwa pengetahuan tentang hubungan timbal-balik  (koherensi) adalah ilmu pengetahuan yang sangat urgen. Selain itu Farahi juga merujuk pada Imām Fakhr al-Din al-Razi yang baginya adalah salah satu dari ulama yang mampu menunjukkan sisi paling menarik dari ilmu ini.
Farahi menilik pendapat Imām Razis dengan komentarnya pada ayat, "wa hukum ja'alnāhu Qur'ānan a'jamiyyan, (41: 44):
(Dan jika Kami jadikan ia) yakni Alquran itu (suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentu mereka mengatakan, "Mengapa tidak) kenapa tidak (dijelaskan) diterangkan (ayat-ayatnya?) sehingga kami dapat memahaminya. (Apakah) patut Alquran (dalam bahasa asing sedangkan) nabi (adalah orang Arab) Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna ingkar, yakni menunjukkan keingkaran mereka. Dan lafal A'jamiyyun ini dapat dibaca Tahqiq dan dapat pula dibaca Tas-hil. (Katakanlah, "Alquran ini bagi orang-orang yang beriman adalah petunjuk) dari kesesatan (dan penawar) dari kebodohan. (Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan) penutup, sehingga mereka tidak dapat mendengar (sedangkan Alquran itu suatu kegelapan bagi mereka) karena itu mereka tidak dapat memahaminya. (Mereka itu adalah seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh") karenanya mereka tidak dapat mendengar dan tidak dapat memahami panggilan yang ditujukan kepadanya. [Tafsir Jalalayn]
Para ulama telah berpendapat bahwa ayat ini diturunkan ketika Quraisy yang keras kepala mengatakan bahwa mengapa Qur'an tidak disampaikan dalam beberapa bahasa non-Arab. Menurut Farahi hal semacam ini merupakan bentuk ekspos terhadap kesucian Alquran. Ini mengisyaratkan bahwa Alquran  memang berisi beberapa hal yang tampak terputus-putus atau tidak memiliki koherensi logis. Namun menurut Farahi setiap orang yang ‘adil dapat melihat bahwa jika ayat tersebut ditafsirkan dengan manhaj yang kita miliki maka menjadi jelaslah bahwa surah memiliki koherensi dan terajut dengan baik dari wacana awal sampai akhir dan mengarah ke tujuan tunggal
Sebagian ulama lain percaya bahwa kesucian Alquran adalah tanpa koherensi apapun (mungkin) kecuali yang memiliki asbabun nuzulnya. Dalam kaitan ini, Syeikh 'Izzuddin al-Salam mengatakan: “Alquran turun sedikit demi sedikit selama lebih dari dua dekade, dengan perintah yang berbeda yang dikeluarkan untuk berbagai tujuan.” Yang artinya akan menjadi sangat sulit bahkan mustahil untuk menemukan koherensi dari seluruh ayat yang ada.
Adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini memunculkan dua poin penting. Pertama, sesungguhnya para ulama sebelumnya tidak mengabaikan pertanyaan mengenai koherensi Alquran. Sebaliknya mereka telah membahas masalah tersebut dengan hati-hati. Ke dua, menemukan koherensi di Qur'an Suci adalah tugas yang sulit dan jarang dicoba.
Pada mulanya, Farahi menemukan pemahaman tentang hubungan internal dalam Surah al-Baqarah dan Surah al-Qasas. Penemuan koherensi dalam kedua surat tersebut, mendorongnya untuk memperluas investigasi ke seluruh Kitab. Farahi berkata, “hal ini membuat saya mencurahkan cukup waktu untuk penelitian ini dan melakukan survei lengkap dari seluruh kitab. Setelah sepuluh tahun tidak aktif, Allah kembali memberkati saya dengan kesempatan untuk melanjutkan pekerjaan pada Alquran dari sudut ini. Awal investigasi berlangsung selama sekitar satu tahun sebelum akhirnya saya mencapai kesimpulan yang pasti. Kemudian, ide untuk menyajikan hasil investigasi saya ke dunia akademis melanda pikiran saya. Namun, saya menyadari pentingnya tugas ini dengan konsekuensinya. Oleh karena itu, saya terus berulang kali memeriksa teks Alquran dari perspektif ini untuk waktu yang lama. Saya terus-menerus memohon perlindungan Allah dari kebodohan dan godaan diri. Kebenaran itu ada di hadapanku, jelas dan nyata.”
Farahi akhirnya mempulikasikan temuannya berdasarkan beberapa alasan:
1.    Sebagian besar perbedaan dalam memahami Teks Alquran berawal dari fakta bahwa sebagian penafsir tidak mempertimbangkan koherensi Alquran.
Urutan dan susunan Qur'an adalah satu-satunya panduan untuk pemahaman yang tepat dari teks. Itu  adalah satu-satunya hal yang mencegah umat menyimpang dari asas dasar firman Allah sekaligus menjaga Alquran dari serangan gencar orang-orang
2.    Para musuh Islam melontarkan kritik terhadap Alquran. Mereka mengklaim bahwa Alquran tidak memiliki kejelasan aturan/ketertiban. Untuk itu muslim diharapkan mampu memberikan pembelaan terhadap firman Allah dari serangan tersebut. Namun  sayangnya, secara umum kita mudah menyerah dalam mengkaji hal ini. Maka bagi Farahi hal ini tidak memungkinkan dirinya untuk duduk seperti penonton sementara kebenaran menjadi sasaran penindasan.
3.    Selain itu, fakta yang tak terbantahkan bahwa koherensi adalah karakteristik penting dari setiap wacana. Tanpa adanya koherensi maka kita akan kehilangan bagian penting dari makna dan implikasi sebuah wacana.
Terdapat hadiṡ  yang juga menguatkan tesis tentang koherensi dalam Alquran ialah bahwa setiap kali bagian dari Alquran diturunkan, Nabi saw. akan menentukan surah dan juga tempatnya dan akan mengarahkan para sahabatnya untuk menaruhnya di sana. Urutan ayat-ayat Alquran telah diakui oleh Seluruh ummah. Penataan tersebut tentu bukannya tanpa maksud, dan hal inilah yang menguatkan tesis Farahi tentang adanya koherensi dalam Alquran.
Menurut Imām Suyūti orang pertama yang menyoroti studi korespondensi (dari ayat-ayat Alquran) adalah Sheikh Abū Bakr Nishābūrī . Dia adalah seorang ahli besar dalam hukum Islam dan sastra. Dia sering meremehkan ulama Baghdad karena kurangnya pengetahuan mereka tentang korespondensi.  Imam Abu Bakar An-Naisaburi wafat tahun 324 H, kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang menulis kitab “Nużumud Durari fi Tanasubil Āyati Wassuwari” dan As-Suyuthi yang menulis kitab “Asrārut Tanzilli wa Tanāsuqud Durari fi Tanāsubil Āyati Wassuwari” serta M. Shadiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Imām Suyūti telah mencatat perkataan ibnu Arabi, ”Seni menghubungkan ayat-ayat Alquran dengan keseluruhan teks akan muncul sebagai satu komposisi yang teratur baik dan tentulah merupakan pengetahuan yang besar.” Imam ar-Razi, dalam komentarnya, selalu bersyukur kepada Allah karena pengetahuan yang diberikan kepadanya.
Sejumlah mufasir mengungkapkan pandangan yang sama bahwa susunan ayat dan surah dalam Alquran merupakan kesatuan, Menurut al-Qattan, mengetahui munasabah selain bertujuan untuk memahami makna dan menafsirkan ayat, juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Ia juga menerangkan, kesatuan surah dalam Alquran merupakan kesatuan yang integral-holistik. Kesatuan munasabah Alquran berdasarkan pada poros tema (mihwar) yang terdapat di setiap surah yang semuanya terintegrasi pada poros tema. Hal ini mendukung pendapat Farahi yang menyatakan bahwa setiap surah dalam Alquran mempunyai tema sentral (‘amud).
“Kesatuan tema dalam surah didasarkan pada keyakinan bahwa setiap surah Alquran ada keserasian lafaz dan makna yang kuat serta kesatuan tema. Dengan alasan ini, Sa’id Hawwa menekankan pentingya memahami kesatuan tema dalam surah untuk memahami Alquran,”
Kesimpulan ini memperkuat pandangan yang menyebutkan adanya bentuk-bentuk koherensi dalam Alquran, yaitu koherensi dalam satu surah, koherensi pasangan surah, dan koherensi kelompok surah serta sekaligus menolak pendapat Izz al-Din Abd al-Salam yang menyatakan tidak ada munasabah dan kesesuaian antara tema-tema dalam surah Alquran.
Di dalam Alquran sesungguhnya telah terdapat beberapa ayat yang menunjukkan bahwa al Qur`an adalah satu kesatuan. Misalnya QS. Al Nisa: 82 dan QS. Hud: 1.
Apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. al Nisa : 82)
Alif Lam Ra` (inilah) kitab yang ayat-yatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. Hud: 1)
Aplikasi Konsep ‘Amud dalam Surah al Dzâriyât
Farahi berpendapat setiap surah al Qur`an memiliki sebuah tema sentral yang disebutnya sebagai ‘amûd. Semua ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah surah itu tersambung secara integral dengan ‘amûd-nya, sehingga pengungkapan maksud ayat secara komplit itu hanya ketika amûd-nya diketahui dan sentralitasnya dalam surah diakui secara sah.
Sebagai contoh ‘amûd Surah al Dzâriyât (QS. 51) menurut al Farahi ialah “pembalasan agung” dengan penekanan pada aspek hukuman balasan. Yakni Surah al Dzâriyât terbagi ke dalam tujuh seksi (ayat 1-14 , 15-19, 20-23, 24-37, 38-46, 47-51, 52-60) yang kesemuanya sesuai dengan tema “pembalasan agung”, dengan seksi pertama yang menyatakan adanya pembalasan agung dan seksi-seksi berikutnya yang menyediakan dan memberikan bukti-bukti petunjuk atas keberadaannya.
Intinya, Al Farahi menyatakan bahwa setiap surah menanamkan pesan tertentu sebagai tema sentral. Penyelesaian tema ini menandai akhirnya suatu surah. Jika tidak ada kesimpulan tertentu yang dituju pada setiap surah maka tidak akan ada kebutuhan untuk membagi Alquran dalam surah-surah. Sebaliknya keseluruhan Alquran akan menjadi surah tunggal. Setiap surah tidaklah membahas suatu masalah spesial yang surah lain tidak menyentuhnya. (Sehinga) Isi dari dua surah terakhir itu sangatlah mirip meskipun keduanya tidaklah dianggap sebagai satu surah. Keduanya selalu saja dianggap unit-unit yang independen dan spesial (berbeda). Seperti Surah Takwîr (QS. 81), Surah Insyiqâq (QS. 84), Surah Mursâlât (QS. 77), Surah Nâzi’ât (QS. 79) and Surah Dzâriyât (QS. 51) yang mengarahkan pada kemiripan masalah. Namun struktur serta gaya ekspresi mereka benar-benar berbeda.



Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment