Alquran sebagai pedoman hidup merupakan satu kesatuan, saling berkait antar bagiannya dan saling menafsirkan. Oleh Karena itu ia pun harus dipahami dan dipatuhi secara utuh dan komperhensif bukannya sepenggal-sepenggal atau sebagian-sebagian. Dan sungguh hancurnya umat terdahulu itu dikarenakan mereka mengambil sebagian ajaran kitab suci mereka dan –namun- menolak sebagiannya yang lain.
Dalam karya ini Farahi berniat
untuk menulis penjelasan yang sederhana dan komentar tentang Alquran yang bebas
dari perbedaan-perbedaan yang telah muncul di kalangan umat Islam setelah Nabi.
Ia berusaha mengklarifikasi setiap ayat dalam Kitab dan berusaha menentukan
koherensi ayat-ayat Alquran melalui analisis yang cermat terhadap nash yang
dengan bukti-bukti rasional dan faktual .
Koherensi Alquran
Farahi bukan orang pertama yang mencoba untuk
mengungkap koherensi Qur'an. Banyak ulama di masa lalu telah mengarahkan
perhatian mereka pada hal ini dan beberapa bahkan telah mendokumentasikan temuan mereka.
Contohnya, Suyūtï, menyebutkan dalam risalahnya al-Itqan. Murabbi’
Abu Hayyān, 'Allamah Abu Ja'far Ibnu Zubair, menyusun buku berjudul al-Burhan
fi al-Suwar Munāsabat Alquran yang secara eksklusif berkaitan dengan hal
ini. Salah satu yang semasa dengan Farahi, Sheikh Burhan al-Din Baqā'ī juga
secara khusus membahas koherensi dalam Alquran dalam tafsirnya Nazm al-Durar
fi Tanāsub al-Ayi wa al-Suwar.
Farahi juga mengacu pada salah satu karya Suyūti, yang menurutnya,
membahas koherensi dalam ayat-ayat dan surat dan aspek lain dari i'jāzul
Qur'an. Suyūti dalam kitab tersebut menyatakan bahwa pengetahuan tentang
hubungan timbal-balik (koherensi) adalah
ilmu pengetahuan yang sangat urgen. Selain itu Farahi juga merujuk pada Imām
Fakhr al-Din al-Razi yang baginya adalah salah satu dari ulama yang mampu menunjukkan
sisi paling menarik dari ilmu ini.
Farahi menilik pendapat Imām Razis dengan komentarnya pada ayat,
"wa hukum ja'alnāhu Qur'ānan a'jamiyyan, (41: 44):
(Dan jika Kami jadikan ia) yakni Alquran itu (suatu bacaan dalam
bahasa selain bahasa Arab tentu mereka mengatakan, "Mengapa tidak) kenapa
tidak (dijelaskan) diterangkan (ayat-ayatnya?) sehingga kami dapat memahaminya.
(Apakah) patut Alquran (dalam bahasa asing sedangkan) nabi (adalah orang Arab)
Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna ingkar, yakni menunjukkan
keingkaran mereka. Dan lafal A'jamiyyun ini dapat dibaca Tahqiq dan dapat pula
dibaca Tas-hil. (Katakanlah, "Alquran ini bagi orang-orang yang beriman
adalah petunjuk) dari kesesatan (dan penawar) dari kebodohan. (Dan orang-orang
yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan) penutup, sehingga mereka
tidak dapat mendengar (sedangkan Alquran itu suatu kegelapan bagi mereka)
karena itu mereka tidak dapat memahaminya. (Mereka itu adalah seperti
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh") karenanya mereka tidak
dapat mendengar dan tidak dapat memahami panggilan yang ditujukan kepadanya.
[Tafsir Jalalayn]
Para ulama telah berpendapat bahwa ayat ini diturunkan ketika
Quraisy yang keras kepala mengatakan bahwa mengapa Qur'an tidak disampaikan dalam
beberapa bahasa non-Arab. Menurut Farahi
hal semacam ini merupakan bentuk ekspos terhadap kesucian Alquran. Ini mengisyaratkan bahwa Alquran memang berisi beberapa hal yang tampak
terputus-putus atau tidak memiliki koherensi logis. Namun menurut Farahi setiap orang
yang ‘adil dapat melihat bahwa jika ayat tersebut ditafsirkan dengan
manhaj yang kita miliki maka menjadi jelaslah bahwa surah memiliki koherensi
dan terajut dengan baik dari wacana awal sampai akhir dan mengarah ke tujuan
tunggal
Sebagian ulama lain percaya bahwa kesucian Alquran
adalah tanpa koherensi apapun (mungkin) kecuali yang memiliki asbabun
nuzulnya. Dalam kaitan ini, Syeikh 'Izzuddin
al-Salam mengatakan: “Alquran turun sedikit demi sedikit selama lebih dari dua
dekade, dengan perintah yang berbeda yang dikeluarkan untuk berbagai tujuan.” Yang artinya akan menjadi sangat sulit
bahkan mustahil untuk menemukan koherensi dari seluruh ayat yang ada.
Adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini memunculkan dua poin penting. Pertama, sesungguhnya para ulama sebelumnya tidak mengabaikan
pertanyaan mengenai koherensi Alquran. Sebaliknya mereka telah membahas masalah tersebut dengan
hati-hati. Ke dua, menemukan koherensi di Qur'an Suci
adalah tugas yang sulit dan jarang dicoba.
Pada mulanya, Farahi menemukan pemahaman tentang hubungan internal
dalam Surah al-Baqarah dan Surah al-Qasas. Penemuan koherensi dalam kedua surat
tersebut, mendorongnya untuk memperluas investigasi ke seluruh Kitab. Farahi berkata, “hal ini membuat saya mencurahkan cukup waktu untuk penelitian ini
dan melakukan survei lengkap dari seluruh kitab. Setelah sepuluh tahun tidak
aktif, Allah kembali memberkati saya dengan kesempatan untuk melanjutkan pekerjaan
pada Alquran dari sudut ini. Awal investigasi berlangsung selama sekitar satu tahun
sebelum akhirnya saya mencapai kesimpulan yang pasti. Kemudian, ide untuk menyajikan hasil investigasi saya ke dunia akademis
melanda pikiran saya. Namun, saya menyadari pentingnya tugas ini dengan
konsekuensinya. Oleh karena itu, saya terus berulang kali memeriksa teks
Alquran dari perspektif ini untuk waktu yang lama. Saya terus-menerus memohon
perlindungan Allah dari kebodohan dan godaan diri. Kebenaran itu ada di hadapanku,
jelas dan nyata.”
Farahi akhirnya mempulikasikan temuannya berdasarkan beberapa alasan:
1.
Sebagian besar perbedaan dalam memahami
Teks Alquran berawal dari fakta bahwa sebagian penafsir tidak mempertimbangkan koherensi Alquran.
Urutan dan susunan Qur'an adalah satu-satunya panduan untuk pemahaman yang tepat dari teks.
Itu adalah satu-satunya hal yang mencegah umat
menyimpang dari asas dasar firman Allah sekaligus menjaga Alquran dari serangan gencar orang-orang
2.
Para musuh Islam melontarkan kritik terhadap Alquran. Mereka mengklaim bahwa Alquran tidak memiliki kejelasan
aturan/ketertiban. Untuk itu muslim diharapkan mampu
memberikan pembelaan terhadap firman Allah dari serangan tersebut. Namun
sayangnya, secara umum kita mudah menyerah dalam mengkaji hal ini. Maka bagi Farahi
hal ini tidak memungkinkan dirinya untuk duduk seperti penonton sementara kebenaran menjadi sasaran
penindasan.
3.
Selain itu, fakta yang tak terbantahkan
bahwa koherensi adalah karakteristik penting dari setiap wacana. Tanpa adanya koherensi maka kita akan kehilangan bagian penting dari makna dan implikasi sebuah wacana.
Terdapat hadiṡ yang juga
menguatkan tesis tentang koherensi dalam Alquran ialah bahwa setiap kali bagian
dari Alquran diturunkan, Nabi saw. akan menentukan surah dan juga tempatnya dan
akan mengarahkan para sahabatnya untuk menaruhnya di sana. Urutan ayat-ayat Alquran
telah diakui oleh Seluruh ummah. Penataan
tersebut tentu bukannya tanpa maksud, dan hal inilah yang menguatkan tesis Farahi tentang adanya koherensi dalam Alquran.
Menurut Imām Suyūti orang pertama yang menyoroti studi
korespondensi (dari ayat-ayat Alquran) adalah Sheikh Abū Bakr Nishābūrī . Dia
adalah seorang ahli besar dalam hukum Islam dan sastra. Dia sering meremehkan
ulama Baghdad karena kurangnya pengetahuan mereka tentang korespondensi. Imam Abu Bakar An-Naisaburi wafat tahun 324 H,
kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu
fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai yang
menulis kitab “Nużumud Durari fi Tanasubil Āyati Wassuwari” dan
As-Suyuthi yang menulis kitab “Asrārut Tanzilli wa Tanāsuqud Durari fi
Tanāsubil Āyati Wassuwari” serta M. Shadiq Al-Ghimari yang mengarang kitab “Jawahirul
Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Imām Suyūti telah mencatat perkataan ibnu Arabi, ”Seni
menghubungkan ayat-ayat Alquran dengan keseluruhan teks akan muncul sebagai
satu komposisi yang teratur baik dan tentulah merupakan pengetahuan yang besar.”
Imam ar-Razi, dalam komentarnya, selalu bersyukur kepada Allah karena
pengetahuan yang diberikan kepadanya.
Sejumlah mufasir mengungkapkan pandangan yang sama bahwa susunan
ayat dan surah dalam Alquran merupakan kesatuan, Menurut al-Qattan, mengetahui munasabah
selain bertujuan untuk memahami makna dan menafsirkan ayat, juga membantu dalam
pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Ia juga menerangkan,
kesatuan surah dalam Alquran merupakan kesatuan yang integral-holistik. Kesatuan munasabah Alquran
berdasarkan pada poros tema (mihwar) yang terdapat di setiap surah yang
semuanya terintegrasi pada poros tema. Hal ini mendukung pendapat Farahi yang
menyatakan bahwa setiap surah dalam Alquran mempunyai tema sentral (‘amud).
“Kesatuan tema dalam surah didasarkan pada
keyakinan bahwa setiap surah Alquran ada keserasian lafaz dan makna yang kuat
serta kesatuan tema. Dengan alasan ini, Sa’id Hawwa menekankan pentingya
memahami kesatuan tema dalam surah untuk memahami Alquran,”
Kesimpulan ini memperkuat pandangan yang
menyebutkan adanya bentuk-bentuk koherensi dalam Alquran, yaitu koherensi dalam
satu surah, koherensi pasangan surah, dan koherensi kelompok surah serta
sekaligus menolak pendapat Izz al-Din Abd al-Salam yang menyatakan tidak ada munasabah
dan kesesuaian antara tema-tema dalam surah Alquran.
Di dalam Alquran sesungguhnya telah terdapat beberapa ayat yang
menunjukkan bahwa al Qur`an adalah satu kesatuan. Misalnya QS. Al Nisa: 82 dan
QS. Hud: 1.
Apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu
bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di
dalamnya. (QS. al Nisa : 82)
Alif Lam Ra` (inilah) kitab yang ayat-yatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. Hud: 1)
Aplikasi Konsep ‘Amud dalam Surah al
Dzâriyât
Farahi berpendapat setiap surah al Qur`an
memiliki sebuah tema sentral yang disebutnya sebagai ‘amûd. Semua
ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah surah itu tersambung secara integral
dengan ‘amûd-nya, sehingga pengungkapan maksud ayat secara komplit itu
hanya ketika amûd-nya diketahui dan sentralitasnya dalam surah diakui
secara sah.
Sebagai contoh ‘amûd Surah al
Dzâriyât (QS. 51) menurut al Farahi ialah “pembalasan agung” dengan
penekanan pada aspek hukuman balasan. Yakni Surah al Dzâriyât
terbagi ke dalam tujuh seksi (ayat 1-14 , 15-19, 20-23, 24-37, 38-46, 47-51,
52-60) yang kesemuanya sesuai dengan tema “pembalasan agung”, dengan seksi
pertama yang menyatakan adanya pembalasan agung dan seksi-seksi berikutnya yang
menyediakan dan memberikan bukti-bukti petunjuk atas keberadaannya.
Intinya, Al Farahi menyatakan bahwa setiap surah menanamkan pesan tertentu sebagai tema sentral.
Penyelesaian tema ini menandai akhirnya suatu surah. Jika tidak ada kesimpulan
tertentu yang dituju pada setiap surah maka tidak akan ada kebutuhan untuk
membagi Alquran dalam surah-surah. Sebaliknya keseluruhan Alquran akan menjadi
surah tunggal. Setiap surah tidaklah membahas suatu masalah spesial yang surah
lain tidak menyentuhnya. (Sehinga) Isi dari dua surah terakhir itu sangatlah mirip meskipun keduanya
tidaklah dianggap sebagai satu surah. Keduanya selalu
saja dianggap unit-unit yang independen dan spesial (berbeda). Seperti Surah Takwîr
(QS. 81), Surah Insyiqâq (QS. 84), Surah Mursâlât (QS. 77), Surah
Nâzi’ât (QS. 79) and Surah Dzâriyât (QS. 51) yang mengarahkan
pada kemiripan masalah. Namun struktur serta gaya ekspresi mereka benar-benar berbeda.
0 comments:
Post a Comment