Interpreting the Qur'an, Abdullah Saeed



Buku Interpreting the Qur'an tidak dimaksudkan sebagai panduan untuk menafsirkan teks-teks melainkan memberikan argumen untuk untuk menggunakan pendekatan yang berbeda untuk penafsiran teks, yakni melalui pendekatan 'kontekstual'. Intinya adalah bagaimana makna dari Alquran dapat berhubungan dengan kehidupan Muslim kekinian. Secara historis, ahli tafsir dan ahli hukum Islam sering mengandalkan pendekatan linguistik dengan mengesampingkan konteks sosio-historis Alquran. Padahal persinggungan antara produk tafsir klasik dengan tuntutan modernitas telah memunculkan asumsi bahwa produk tafsir periode pra-modern tidak lagi dianggap layak, kecuali oleh sejumlah kecil Muslim. Sebagian besar sisa hukum Islam sebagaimana yang ada dalam karya-karya fikh standar umumnya diabaikan di sebagian besar masyarakat Muslim saat ini. Hudud yang tidak lagi diterapkan serta penekanan pada kesetaraan gender menunjukkan bahwa banyak interpretasi yang ada di fikih klasik tidak lagi melayani kebutuhan umat Islam saat ini. Karenanya, sebagaimana dikatakan Ṡahrur, “Alquran harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.”[1]
Maka, jika dalam ilmu tafsir yang berkembang selama ini adalah adanya dua kelompok yang saling berlawanan, yang satu berpegangan pada kaidah al-’ibrah bi ‘umum al- lafzh la bi khusus al-sabab, sedangkan yang lain berpegang pada kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafazh, maka pada masa kontemporer ini muncul kaidah al-‘ibrah bi Maqashid al-syari’ah, bahwa yang seharusnya menjadi pegangan adalah apa yang dikehendaki oleh syari’ah (Alquran).
Di kalangan umat Islam, dikenal tiga pendekatan penafsiran Alquran, yaitu: tekstualis, semi-tekstualis dan kontekstualis. Klasifikasi ini berdasarkan sejauh mana penafsir mengandalkan pendekatan linguistik atau konteks sosio-historis dari Quran serta konteks kekinian.
a.    Kelompok tekstualis berpegang kuat pada teks dengan mengadopsi pendekatan literalis. Mereka menganggap bahwa makna yang terkandung dalam Quran bersifat tetap dan universal, sehingga tidak perlu penyesuaian dengan modernitas. Misalnya, jika Quran mengatakan bahwa seorang pria bisa menikahi empat istri, maka ini harus diterapkan selamanya, tanpa perlu mempertimbangkan konteks sosio-historis di mana teks ini diwahyukan. Contoh yang paling jelas dari kelompok ini adalah kaum tradisionalis/salaf.
Jika beberapa mufassir kontemporer menegaskan bahwa nilai universal dimaksud adalah nilai kesetaraan, nilai keadilan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Nilai inilah yang memang sejak awal ingin ditekankan oleh Alquran melalui berbagai ayat yang menghendaki dilakukannya pembebasan budak pembagian hak waris untuk perempuan, dan lain-lain. Dengan memahami ayat-ayat Alquran secara parsial, mustahil nilai-nilai universal ini bisa dipahami secara benar. Bahkan kadang yang terjadi justru diskriminasi, sub-ordinasi dan semacamnya
b.    Kelompok Semi-tekstualists, pada dasarnya sama dengan kelompok tekstualis tetapi mereka mengemasnya dalam istilah-istilah yang agak 'modern'. Biasanya mereka terlibat dengan berbagai cabang dari gerakan neo-revivalis modern, seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jamatul Islam (India).
c.    Kelompok Kontekstualis menekankan konteks sosio-historis dari isi hukum Alquran. Mereka menelusur dari konteks politik, sosial, sejarah, budaya dan ekonomi dimana wahyu diturunkan, ditafsirkan dan diterapkan. Mereka mengusung kebebasan sarjana muslim modern dalam menentukan apa yang mutable (berubah) dan immutable (tidak berubah) dalam Alquran. Diantara kelompok ini adalah Fazlur Rahman yang disebut neo-modernis serta ijtihadis (mujtahid), yang disebut sebagai muslim 'progresif' dan lebih umum disebut pemikir 'liberal'.
Adapun kontribusi tafsir kontemporer yang cenderung kontekstualis adalah Mengungkap “Ruh” Alquran. Jargon para mufassir kontemporer adalah bahwa Alquran merupakan sebuah kitab suci yang salih li kulli zaman wa al-makan, sebuah kitab yang berlaku universal.[2] Oleh karenanya, para mufassir  kontemporer tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat Alquran secara literal, melainkan, mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal ayat-ayat tersebut.
Inovasi-inovasi metodologi yang diperkenalkan oleh pemikir kontekstualis seperti Fazlur Rahman untuk menyelesaikan masalah penafsiran teks-teks merupakan langkah penting dalam menghubungkan teks Alquran dengan kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer. Rahman sangat mengutamakan pemahaman konteks sosio-historis wahyu, pada tingkat makro, dan kemudian menghubungkannya dengan kebutuhan tertentu periode modern. Dalam hal ini, ia mengacu pada gagasan 'spirit kenabian' atau, dengan kata lain, berusaha untuk membayangkan bagaimana Nabi mungkin bertindak seandainya beliau hidup di masa ini, atau masa lainnya. Aspek sosio-historis dalam tafsir kontemporer—seharusnya—bukan hanya mencakupi situasi turunnya sesuatu ayat tetapi, seperti digambarkan Nurcholish Madjid, merangkumi pemahaman pada konteks budaya Arab secara keseluruhannya pada zaman turunnya wahyu.
Namun, pencarian untuk metode yang dapat diterima di masa modern bukan berarti mengabaikan tradisi penafsiran Islam klasik. Sebaliknya, kita harus mendapatkan keuntungan dari tradisi lama tanpa harus terikat oleh semua detailnya. Ulama kontemporer harus memahami bagaimana teks telah ditafsirkan sepanjang sejarah sehingga dapat membantu mereka membuat perumusan dan interpretasi baru. Tidak ada yang sakral dari produk tafsir, bahkan yang dihasilkan oleh seorang sahabat Nabi. Pemahaman mereka, seperti kita, dibatasi oleh konteks dan budaya dan mungkin relevan atau tidak relevan dengan budaya di luar budaya mereka.
Argumen Abdullah Saeed bukan berarti bahwa ia menolak warisan tafsir atau fikh. Menurutnya kita harus menghormati warisan itu, belajar dari itu dan menggunakan apa yang relevan dan bermanfaat bagi keprihatinan kontemporer kita. Namun kita tidak harus menerima gagasan bahwa umat Islam di masa lalu telah mencapai puncak intelektual di bidang tafsir dan fikih. Umat Islam terlibat dalam suatu proses berkelanjutan penyempurnaan, perbaikan, perubahan dan penambahan dengan tubuh ada pengetahuan. Ini juga berarti bahwa pendekatan baru akan terus dikembangkan seiring berjalannya waktu dan sebagai kebutuhan perubahan masyarakat. Era kita adalah salah satu pergolakan besar dan teknologi dan perubahan sosial yang memerlukan kontribusi intelektual yang signifikan untuk menghubungkan makna Alquran dengan kebutuhan umat Islam hari ini.
Bagi banyak Muslim, beberapa ajaran Alquran, jika diambil secara literal, mungkin tampak kuno dan kuno dan sangat tidak relevan karena itu diperlukan kerangka metodologi yang tepat untuk menerjemahkan ethico legAlquran dengan cara yang bermanfaat bagi seorang Muslim hari ini. Ada, tentu saja, Muslim yang sangat percaya bahwa semua perintah dalam Alquran harus diambil secara harfiah dan dimasukkan ke dalam praktik. Menurut mereka Alquran adalah firman Allah, apa pun isinya (bahkan jika diambil secara harfiah sepenuhnya) tidak mungkin gagal untuk menemukan relevansinya dengan kebutuhan semua masyarakat untuk semua waktu dan semua tempat. Mereka tidak melihat alasan untuk membaca ulang teks Alquran.
Dalam konteks pemahaman agama, para pemikir dituntut untuk bersikap adil terhadap pemikir keagamaan yang verbalis-tekstualis dan liberalis-kontekstualis. Dengan demikian, ini akan menghindari lahirnya sikap fanatisme pemahaman terhadap kelompok tertentu. Jika seseorang kritis terhadap al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan al-Syafi’i, justru perlu lebih kritis terhadap Arkoen, al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Fazlur Rahman dan lain sebagainya. Sikap kritis inilah akan melahirkan sikap obyektif terhadap setiap pemikiran keagamaan.
Intinya, terjadinya tarik ulur pemahaman antara paham tradisionalis-literalis dan liberalis-kontektualis merupakan dinamika lama dalam khzanah keagamaan. Kedua kelompok ini tidak akan pernah menemukan titik temu, karena keduanya meyakini hal itu adalah kebenaran yang tak bisa diaganggu gugat. Hanya saja, perbedaan sering tidak dimaknai sebagai rahmat Tuhan yang harus disyukuri, justru klaim yang paling benar (truth claim) menjadi biang konflik yang tidak bisa dihindari.
Ethico-Legal Text dalam Alquran
Saeed mengklasifikasikan jenis teks dalam Alquran menurut muatannnya menjadi  empat, yaitu:
1. Ayat-ayat teologis
Banyak ayat Alquran yang tergolong dalam jenis ini. Setidaknya bisa dibagi menjadi dua bagian: pertama, ayat-ayat tentang Tuhan, tercakup di dalamnya sifat dan perbuatan Tuhan,. Kedua, selain tentang Tuhan, misalnya ‘arsy, surga, neraka, malaikat, dan al-lauhul mahfudz. Singkatnya, ayat-ayat ini berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengalaman manusia.
Meskipun, sesuatu yang gaib berada di luar jangkauan manusia, tidak serta merta bisa dikatakan ayat-ayat tersebut tidak memiliki makna dan tidak bisa dipahami. Ia pasti memiliki implikasi pada awal turunnya dan karena itu pasti memiliki maksud. Tapi sebagai catatannya, ia hanya bisa dipahami sebatas pengalaman dan pengetahuan manusia. Karena itu, tidak sah kiranya jika penafsir kemudian mengklaim makna yang direngkuhnya sebagai satu-satunya yang benar (karena tidak ada rujukan yang bisa dijangkau manusia untuk menyelidiki kebenaran itu). Peran penafsir dalam hal ini  adalah untuk mengetahui hubungan antara teks dan komunitas yang dituju dan untuk menjelaskan apa maksud hubungan ini.
2. Ayat-ayat kisah
Ayat-ayat ini merujuk kepada peristiwa-peristiwa dalam sejarah manusia yang karena itu bisa diperiksa melalui sumber-sumber dan tradisi-tradisi di luar Alquran. Misalnya, ayat-ayat tentang bangsa-bangsa, manusia, cerita, Nabi-Nabi, dan agama-agama masa lalu, termasuk juga kejadian-kejadian pada masa Nabi.
Sebagaimana ayat-ayat tentang yang gaib, ayat-ayat kisah ini tampaknya bertujuan untuk menyampaikan pesan tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dijalan Tuhan, bukan semata sebagai informasi sejarah belaka. Meskipun demikian, menurut Saeed, untuk mencapai kepada pemahaman yang lebih baik, pengetahuan tentang data-data yang berhubungan dengan kisah tersebut menjadi penting, karena Alquran tidak menyediakan peristiwa yang detail. Lebih jauh Saeed menambahkan, fokus tugas mufassir bukanlah pada pengungkapan apa yang ada di balik kisah, akan tetapi apa makna kisah itu untuk masa sekarang.
3. Perumpamaan (masal)
Dalam penafsiran Alquran sangat penting mengetahui fungsi masal. Masal digunakan dalam Alquran sebagai pujian, misalnya pujian terhadap ketabahan, keteguhan, kesetiaan para sahabat dan pengikut mereka kepada Allah dan Rasul. Masal juga digunakan untuk menunjukkan hinaan. Misalnya, perumpamaan Alquran kepada mereka yang telah diturunkan kitab suci dan agama, mereka menerimanya akan tetapi menolak kebenaran yang ada di dalamnya.
4. Ayat-ayat ethico legal
Saaed menyebutkan bahwa ethico legal text adalah salah satu bagian dari golongan ayat Alquran yang menjadi fokus kajian hukum Islam dimana berdasarkan ayat-ayat tersebut, umat Islam selama 14 abad telah mengembangkan sebuah bangunan hukum yang sering dirujuk sebagai “hukum Islam” atau syari’ah. Ayat-ayat yang masuk dalam kategori ethico legal adalah ayat-ayat tentang sistem kepercayaan: ayat-ayat tentang iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah kematian; praktik ibadah: perintah shalat, puasa, haji, zakat; aturan-aturan dalam pernikahan, perceraian dan warisan; apa yang diperintahkan dan dilarang; perintah jihad, larangan mencuri, hukuman terhadap tindak kriminal, hubungan dengan non muslim; perintah yang berhubungan dengan etika, hubungan antaragama dan pemerintahan.
Ayat-ayat inilah yang mendapatkan perhatian lebih dalam penafsiran Saeed, karena menurutnya ayat-ayat inilah yang ‘paling tidak siap’ ketika dihadapkan dengan realitas, padahal pada saat yang bersamaan ayat-ayat inilah yang paling banyak mengisi kehidupan sehari-hari sebagian besar umat islam. Oleh karena itu, perlu adanya  reinterpretasi terhadap ayat-ayat tersebut, agar sesuai dengan kondisi kekinian dan kedisinian.

Interpretasi Kontekstual Atas Ethico Legal Text
Sebelum membangun sebuah model interpretasi, dan ini disadarinya, Saeed lebih dulu membangun argumen-argumen yang memungkinkan ayat-ayat yang mengandung muatan ethico-legal terbebas dari jeratan penafsiran yang bersifat legalistik-literalistik, dengan melakukan pembacaan dan kritik terhadap tradisi, yang seolah telah menjadi model tafsir resmi sejak bagian pertama abad ke 2 H hingga periode modern, baik dalam khazanah tafsir maupun fikih, menuju penafsiran yang disebut kontekstual, yakni model penafsiran yang lebih fleksibel dengan memperhatikan konteks masa pewahyuan, pada saat yang bersamaan juga memperhatikan konteks saat dilakukan penafsiran.
Pondasi Bangunan Interpretasi Kontekstual
a. Pengakuan atas Kompleksitas Makna
   Penafsiran ayat-ayat Alquran yang mengandung muatan ethico-legal memerlukan upaya ijtihad untuk menentukan pemahaman makna yang lebih relevan dan sesuai untuk menafsirkan golongan ayat ini. Saeed meyakini bahwa hakikat bahasa yang dipakai dalam ayat-ayat ini mengimplikasikan bahwa teori rujukan makna sangat tidak mencukupi. Ada sebuah keruwetan yang terkandung dalam memahami sebuah teks.
b. Perhatian terhadap Konteks Sosio-Historis
Konteks, menurut Saeed merupakan elemen yang paling penting dalam penafsiran Alquran. Pengakuan terhadap konteks sosio-historis merupakan sesuatu yang penting dalam terutama menafsirkan ayat-ayat ethico-legal. Pengetahuan akan hal ini, di samping bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana teks tertentu dipahami oleh generasi pertama umat Islam, juga menunjukkan begitu banyak aspek kehidupan, pemikiran, institusi dan praktik-praktik pada masa pewahyuan yang jauh berbeda dengan zaman sekarang. Apresiasi terhadap aspek ini akan membantu penafsir untuk menentukan manakah wilayah ayat-ayat ethico-legal yang memang hanya berlaku pada masa turunnya dan manakah yang sebaliknya, manakah yang masih relevan dan manakah yang sudah tidak atau kurang relevan untuk masa sekarang.
c. Perumusan Hirarki Nilai dalam Ethico-Legal Text: yang Tetap dan yang Berubah
   Upaya untuk menafsirkan Alquran dengan mempertimbangkan konteks dan memperhitungkan nilai yang berubah dan tetap dikenal dalam sejarah penafsiran Alquran. Hal itu bisa dilihat misalnya melalui penafsiran para ‘proto-contextualist’ pada awal periode Islam, beberapa aspek dari tradisi maqasid, dan pendekatan berbasis nilainya Fazlur rahman.
Namun, meskipun upaya ke arah penafsiran tersebut telah digagas, tetap ada kebuntuan yang perlu dipecahkan; pertama, kekurangan maqasid. Menurut Saeed, satu kekurangan yang paling signifikan dari interpretasi berbasis maqasid jika dikaitkan dengan proyek tafsirnya adalah ketika berhadapan dengan ayat Alquran yang memiliki redaksi  yang jelas. Dalam praktiknya, maqasid sering direduksi hanya menjadi retorika belaka sejauh ketika berhadapan dengan ayat-ayat ethico-legal. Kedua, kekurangan dalam gagasan Rahman. Menurut Saeed, meskipun Rahman telah mempertanyakan hirarki nilai dalam kaitan dengan ayat-ayat ethico-legal dan penafsirannya, dia tidak menyatakan secara eksplisit sebuah hirarki sangat penting bagi sebuah metodologi alternatif interpretasi. Selanjutnya Rahman juga tidak menyediakan sebuah kerangka terperinci untuk membangun hirarki nilai moral.
Saeed mengakui, mengidentifikasi dan membangun sebuah hirarki nilai bukanlah hal yang mudah, namun dengan melakukan penelusuran yang teliti, Saeed mengaku berhasil membangun lengkap dengan rasionalisasinya sehingga tidak perlu mengganggu atau membahayakan keimanan umat islam.
Penelusuran akan hirarki ini berguna untuk menafsirkan ayat-ayat ethico-legal. Dengan adanya hirarki nilai ini dimungkikan mengetahui derajat urgendi, kompleksitas dan ambiguitas dari masing-masin g nilai, untuk selanjutnya diberikan perlakuan yang berbeda terhadap masing-masingnya. Tentu pengetahuan ini sangatlah bermanfaat untuk memahami sekaligus mengaplikasikan nilai yang termaktub dalam Alquran, terutama dalam konteks kekinian.
Hirarki nilai yang disusun oleh Saeed adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai yang bersifat kewajiban
Nilai ini tidak akan berubah mengikuti perubahan kondisi, akan tetap menjadi doktrin agama yang abadi.
-  Nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan (rukun iman)
-  Praktek ibadah
-  Halal dan haram yang telah tegas disebut dalam Alquran.
2. Nilai-nilai fundamental
Nilai fundamental ini adalah nilai-nilai kemanusiaan dasar. Sebagaimana apa yang disebut al-Gazali dengan kuliyat (lima nilai universal). Lima nilai universal tersebut adalah perlindungan hidup, hak milik, kehormatan, keturunan dan agama.
3. Nilai-nilai proteksional
Nilai ini berfungsi untuk memelihara keberlangsungan nilai-nilai fundamental. Sebagai contoh, salah satu nilai fundamental adalah perlindungan hidup, maka larangan membunuh adalah nilai proteksional.
4. Nilai-nilai implementasi
Tindakan atau ukuran spesifik yang digunakan untuk melaksanakan nilai proteksional. Nilai ini dapat berbeda menurut konteks yang menyertainya. Contoh, hukuman potong tangan pada zaman awal islam mungkin hukuman yang relevan, namun tidak untuk zaman sekarang.
5. Nilai-nilai Intruksional
Ukuran atau tindakan yang terdapat dalam Alquran tentang sebuah persoalan yang berlaku khusus pada masa pewahyuan.
Konteks sosio-historis dan interpretasi
Kegelisahan Abdullah Saeed berangkat dari pertanyaan sederhana, bagaimana memahami Alquran agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Konsekuensi dari pertanyaan ini memerlukan sebuah upaya memahami Alquran berdasarkan muatan legal-etisnya. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus, karena akan berhadapan dengan otoritas tradisi penafsiran yang telah dianggap paling otoritatif, yakni suatu pendekatan terhadap universalitas dan legal-etis Alquran dengan hanya menggunakan kriteria legalis-linguitis.
Berdasarkan problem tersebut, Abdullah Saeed menegaskan perlunya bangunan new approach dalam memahami Alquran. Sebuah pendekatan yang kontekstualis dan demokratis, dengan melihat fleksibilitas interuksi legal-etis Alquran, memahami konsep “pewahyuan” secara lebih luas, dan memperhatikan koteks sosio-historis Alquran dalam menentukan meaning pada the first recipients yakni pendudduk Hijaz abad ke tujuh, sehingga dapat diperoleh pesan legal-etis Alquran yang relevan  dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, the meaning Alquran akan memiliki relasi praktis dengan aktivitas umat Islam sehari-hari. Dan inilah yang menjadi concern dan tujuan utama Abdullah Saeed.
Muhammad Al-Ghazali (w. 1996) berpendapat bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pendekatan terhadap Alqur’an yang justru bertentangan dengan seruan Alqur’an untuk merenungkan, memahami dan merefleksi yakni menghubungkan sejarah dan pemahaman masa lalu (generasi salaf) dengan masa kini. Menurut Fazlurrahman, kebanyakan muslim saat ini tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.[3]
   Sampai saat ini, pada sebagian besar interpretasi Alquran, fungsi penafsir hanyalah menjelaskan makna sejarah teks dengan analisis filologis dan tata bahasa bukan pada konteks sosio-historis (non linguistik). Padahal konteks telah memainkan peran penting dalam penafsiran masa awal Islam hingga abad ke tiga/sembilan. Pentingnya pemahaman konteks telah ditekankan Alqur’an dengan menyajikan banyak keterangan tentang budaya dan dimensi fisik Hijaz dan Saudi seperti karakteristik fisik, peristiwa, sikap/perilaku, orang-orang dan bagaimana mereka menanggapi panggilan Allah, lembaga, norma dan nilai setempat. Hijaz merupakan cerminan dari budaya yang ada di Saudi dan wilayah sekitarnya seperti Mediterania, termasuk Yahudi dan Kristen, Ethiopia dan Mesir sehingga Hijaz menjelama sebagai bangsa yang plural. Memahami hal semacam ini akan membantu pembaca (pencari makna Alquran) hari ini untuk menentukan makna wahyu pada the first recipients. Karena itulah Arkoun—sebagaimana Rahman dan Saeed—mengusulkan agar kita memikirkan kembali tradisi penafsiran dilihat dari perubahan konteks.[4]
Interaksi Makkah dan Madinah dengan komunitas lain melahirkan berbagai legenda, mitos, ide, tokoh sejarah, gambar dan ritual hingga konsep ketuhanan yang sebagiannya juga dimuat dalam Alqur’an. Misalnya relevansi cerita nabi-nabi dengan kearifan lokal, baik Alkitab atau sumber lainnya. Alquran juga memuat amal-amal yang sebelumnya dipraktikkan kaum kafir semisal haji dan puasa. Tentu saja dalam Alquran amal-amal tersebut telah diislamisasi, dimurnikan dan diperkenalkan kembali, dilucuti dari praktik politeistik.
Ada banyak nilai-nilai pra-Islam kemudian diterima sebagai bagian dari agama baru ini. Secara keseluruhan, budaya yang dianggap penting dan memiliki nilai positif akan diterima, dan budaya yang dianggap buruk (fahsya’) akan ditolak. Misalnya, Alquran menolak seorang anak angkat untuk diperlakukan sebagai anak kandung. Hal ini digambarkan dalam kasus pernikahan Nabi dengan mantan istri anak angkatnya, Zaid. Alquran bahkan juga mengakui norma yang ada dalam perang dan perdamaian termasuk perbudakan, kurban yang tentu saja dengan penghapusan unsur-unsur buruk di dalamnya kemudian memasukkan prinsip keesaan Allah (tauhid).
Ada banyak pernyataan dalam Alquran yang menunjukkan bahwa perempuan diposisikan inferior dari laki-laki. Sebagai contoh, kesaksian dua perempuan dianggap setara dengan satu orang dalam kasus-kasus tertentu. Dari sini Wahdud mengingkan adanya pembacaan Alquran perspektif perempuan, ia beranggapan bahwa tafsir tradisonal bercorak patriarkis karena ia diproduksi oleh kaum laki-laki sebagai konsekuensi logis dominasi laki-laki terhadap konteks sosio-historis.[5] Namun Alqur-an, bagaimanapun, sesungguhnya tidak membenarkan diskriminasi terang-terangan terhadap perempuan; penekanannya tetap pada keadilan. Karena bagaimanapun juga Islam telah meringankan penderitaan perempuan dan melindungi kepentingan mereka, sebagaimana meringankan beban kelompok yang lemah dan kurang beruntung lainnya di masyarakat Hijaz, seperti budak dan kaum miskin yang sebelum Islam status mereka jauh lebih buruk.
Konteks sosio –historis: hukum pewarisan
Contoh yang paling jelas adanya hubungan Alqur-an dan konteksnya ditemukan dalam ayat-ayat yang berhubungan warisan. Dalam hal warisan secara keseluruhan, di mana ada laki-laki dan perempuan pada tingkat yang sama, misalakn sebagai anak pewaris, perempuan selalu menerima lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Para penafsir berpandangan bahwa itu adalah wajar karena perbedaanjenis kelamin membawa perbedaan tanggung jawab. Menurut Saeed mempertahan penafisran semacam ini berarti tidak berusaha untuk menghubungkan perlakuan diferensial ini dengan konteks sosio–historis saat ini yang telah berubah. Baginya ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan secara lahiriyah memang ambigu jika dikaitkan dengan semangat persamaan yang diusung Islam, bahwa perbedaan hanya pada ketakwaan.
Dalam periode pra-modern, struktur sosial dan konteks Muslim masyarakat sering berarti bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi yang lebih besar dan oleh karena itu harus menerima warisan lebih besar. Dalam Hijaz pra-Islam, ekonomi perempuan sering tergantung pada kerabat laki-laki, meskipun ada pengecualian, seperti istri  Nabi Muhammad Khadijah, yang jauh lebih kaya dari Nabi sendiri. Secara politis, perempuan tidak memainkan peran penting. Setelah kematian Nabi, posisi ini semakin melemah oleh Muslim dalam mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai dari sejumlah daerah yang baru ditaklukkan, seperti kekaisaran Sassanid. Dengan menyandingkan perintah Alquran, situasi perempuan saat itu dan norma dan nilai daerah taklukkan, umat Islam mulai mengembangkan ide-ide baru tentang  perempuan yang beberapa di antaranya mungkin tidak relevan dengan Quran sendiri. Tampaknya cara wanita itu melihat secara bertahap memburuk dan ini kemudian dikonsolidasikan melalui penggabungan pandangan seperti dalam hukum dan penafsiran. Perempuan sering dianggap tidak mampu memberikan saran bahkan baik dan nasihat. Secara intelektual, mereka dianggap lemah, dan pendapat mereka tidak layak pertimbangan. Ide-ide ini terus mendominasi, termasuk bagi para ahli agama, bahkan sampai hari ini. Karena itu menurut Engineer, tidak ada pilihan lain selain mengupayakan keberlangsungan eksistensi Alqur’an di tengah perubahan soial dengan pembacaan kembali atau meninggalkannya.[6]
Mengomentari ayat Quran 2: 282 bahwa dua saksi perempuan setara dengan satu laki-laki, Rāzī menyatakan,
“Sifat wanita didominasi oleh kelupaan karena dominasi suatu kondisi di dalam fisik mereka. Ketika dua perempuan bergabung, mungkin yang lupa hanya satu wanita. Oleh karena itu jika dua perempuan mengambil keputusan maka andaikan salah satu dari mereka lupa yang lain bisa saling mengingatkan.”
   Dalam memahami teks Alquran yang berhubungan dengan perempuan, kita perlu menempatkan ayat-ayat tersebut dalam konteks budaya yang lebih luas dengan melihat konteks kontemporer. Hari ini, di banyak masyarakat Muslim, perempuan secara ekonomi telah lebih mandiri dan juga memainkan peran penting dalam masyarakat hingga menduduki jabatan presiden. Ide awal tentang inferioritas intelektual perempuan telah terbukti tidak berdasar, bahkan, perempuan bisa melampaui prestasi laki-laki. Kaitannya dengan hal ini maka kita masih harus berhadapan dengan tafsir yang telah diyakini para sarjana Muslim selama 1.400 tahun terakhir, atau kita berusaha untuk mengeksplorasi bacaan lain untuk menyegarkan pemikiran kita. Seperti tawaran Engineer, membawa Alqur’an pada konteks kekinian atau meninggalkannya.
Konteks Sosio-Historis dan Kultur Bahasa
Nabi tidak pernah mengklaim bahwa ia datang untuk membasmi semua unsur-unsur budaya dari Hijaz. Tugas utamanya adalah untuk mengajarkan ide-ide baru terutama yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan Allah dengan manusia dan ciptaan-Nya, nilai-nilai moral dan kehidupan setelah kematian. Pada umumnya, cara hidup dan cara pandang rakyat Hijaz masih dipertahankan. Inovasi yang diperkenalkan oleh Nabi lebih pada ranah teologi, spiritual dan etika.
   Alquran pun berisi banyak bahasa yang merujuk simbol, metafora, istilah dan ungkapan yang berlaku di Hijaz. Bahkan dalam menggambarkan konsep Islam Surga, Alquran menggunakan bahasa yang terkait erat dengan budaya setempat dan imajinasi yang umum bagi penghuni padang pasir yakni sungai yang mengalir, buah, pohon dan kebun. Setiap budaya memiliki cara yang unik untuk menggambarkan isu-isu spesifik, ide-ide dan nilai-nilai, dan cara ini mungkin tidak selalu sesuai jika diterjemahkan ke dalam konteks lain.
Konteks Sosio-Historis dan ‘Apa yang Bisa Berubah’ dan ‘Tidak Bisa Berubah’
Aturan-aturan yang berkaitan dengan ibadah adalah perintah dari Allah dan Nabi, tidak ada manusia selain Nabi yang memiliki wewenang untuk mengubahnya sehingga ia dianggap abadi. Berbeda dengan ini adalah muamalah, yang didasarkan pada lokalitas maka ia bisa berubah hal ini sesuai dengan pernyataan Syafi’i bahwa hanya dalam wilayah yang pokok saja suatu ijma’ bisa dicapai. Namun setelah masa SYAFI’I ada pergeseran dalam mendekati teks yakni hukum harus didasarkan pada teks secara kaku.
Terkait dengan ini tekstualis beranggapan bahwa syariat adalah kekal, dan bahwa umat Islam lah yang harus berubah sesuai dengannya. Pertama, makna syariah tidak dibuat jelas, ini berarti hukum Islam juga didasarkan pada hal ini. Kedua, jika dengan syariah yang dimaksud hanyalah hukum dan putusan yang disebutkan dalam Alqur'an atau sunnah, maka ia telah menyangkal adanya perubahan. Ketiga, ulama dari periode awal sampai sekarang telah memperdebatkan perubahan dan memutuskan bahwa di beberapa tempat perubahan bisa dinegosiasikan sementara di lain itu tidak. Ibnu Qayyim, telah mengakui bahwa kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat mungkin mempengaruhi perumusan hukum maupun perubahan hukum.
Banyak golongan tektualis berpendapat bahwa umat Islam dari abad XXI tidak memiliki kewenangan untuk mengubah apa pun di syariah atau bahkan untuk menafsirkannya. Padahal jika kita runtut sejarah maka hal ini justru terasa ganjil karena reinterpretasi dan perubahan bukanlah hal baru dalam Islam.  Hal ini telah berlaku bahwa di era para sahabat. Sebagai contoh, Umar mengubah sejumlah aturan jelas dinyatakan dalam Quran dan sunnah. Misalnya penolakan Umar untuk mendistribusikan tanah Irak sebagai barang jarahan bagi tentara Muslim setelah penaklukan, meskipun ada instruksi dalam Alqur'an untuk melakukannya. Kondisi umat Islam yang telah berubah menjadikan Umar yakin bahwa ia bisa memilih jalan yang berbeda. Inilah yang harus dipahami pula oleh muslim kontemporer.
Kesimpulan
Selain masalah perlunya kontekstualisasi tafsir dalam era modern yang telah 15 abad bergerak meninggalkan masa kenabian kegelisahan Abdullah Saeed juga dilatarbelakangi oleh suatu kondisi bahwa mayoritas umat Islam merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu terutama dalam bidang fiqh sudah “final”. Hal ini menyebabkan bahwa setiap ada persoalan baru, para ulama atau ahli Islam tidak merujuk ke Alquran sebagai sumber ajaran Islamuntuk digali makna yang sesuai dengan konteks sosial masa kekinian, tetapi hanya merujuk kepada kitab-kitab fiqh klasik yang secara sosio-historis, kultur, nilai berbeda dengan kondisi masa sekarang.
Dalam konteks inilah Abdullah Saeed mengajukan tawaran pendekatan baru sebagai jembatan yang menghubungkan kebutuhan umat Islam pada abad 21 ini dengan pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang bersandar pada hasil re-interpretasi terhadap sumber ajaran Islam yang utama, yaitu Alquran. Perkembangan kebutuhan akan re-interpretasi tersebut pada akhirnya, diharapkan, dapat menjawab kebutuhan umat Islam di era abd ke 21 dan masa yang akan datang sehingga Alquran is capable of meeting the needs of Muslim at any given time or place (Alquran salih likulli zaman wamakan).
Nilai-nilai berubah sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan kondisi intelektual. Ketika ini terjadi, harus ada perubahan dalam cara kita mendekati teks yang berhubungan dengan nilai-nilai tersebut. Alqur’an diberikan dalam konteks tertentu, maka Alqur’an harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam dalam konteks di mana ia diterima. Interpretasi kontekstual Abdullah Saeed memiliki persamaan dengan double movement theory-nya Fazlur Rahman. Keduanya memberikan perhatian berimbang pada konteks pewahyuan maupun konteks masa kini. Saeed memberikan rasionalisasi terhadap kebolehan bahkan penganjuran untuk mengontekstualisasikan Alquran yang telah dibekukan dalam mushaf.



[1] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa Alquran: Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992), hlm. 33
[2] Abdul Mustaqim, Laporan Pembuatan Buku Daras Mazahib al-Tafsir, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001, hlm. 80.
[3] Fazlurrahman, Tema Pokok Alqur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996),  hlm. xi
[4] Muhammad Arkoun, Rethingking Islam: Common Question, Uncommon Answer, terj. Roberd D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994)
[5] Amina Wahdud, Qur’an menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2004)
[6] Asghar Ali Enginerr, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid W. dan Cici F. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 3
Share on Google Plus

About Admin

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments:

  1. I'm interested in your article.
    I also have the same article that you can visit at http://indonesia.gunadarma.ac.id
    thank you

    ReplyDelete